Selamat datang di Tinta Kertas

Diskusinya di Musholah, tapi Datang Waktu Sholat kok Pergi. Loh kok… Bukannya Sholat!

Jumat, 16 Desember 20110 komentar

Diskusinya di Musholah, tapi Datang Waktu Sholat kok Pergi. Loh kok… Bukannya Sholat!


Sudah bosan juga sejak pukul 09.23 nongkrong di bangku beton di bawah pohon Akasia belakang musholah. Untung saja ada beberapa orang kawan-kawan sepaham—walah jangan ngerutin jidat dulu, maksudnya sepaham disini cuma istilah yang sama sama memiliki paham yang sama; mari bersenang-senang kalau dosen mbolos ngasih kuliah—berbincang seadanya sambil cengar-cengir atau terkekeh dengan pembicaraan yang mereka tekuni.


Sepertinya memang beberapa orang di tempat ini benar-benar sepaham juga dalam hal berpakaian—sudah hampir seminggu tidak mengganti pakaian, entah apa alasannya; terlalu sibuk kata mereka (weleh-weleh opo toh…)—dengan gaya rambut gondrong-gondrong dan aroma yang mengusik. Sudah hampir seminggu belum keramasan pakai sampo. Jangan salah loh bukan berarti mereka tidak menjaga kebersihan atau tidak memperdulikan sebuah teks kudus, “kebersihan itu sebahagian dari iman”. Justru orang-orang sepaham tadi malah sangat memperhatikan kebersihan dan kekudusan. Hanya saja bagi mereka penampilan luar bukan sesuatu yang begitu penting dan menentukan baik-tidak perilaku manusianya. Kebersihan jiwalah yang dianggap lebih urgenitasnya berada di puncak nilai kemanusiaan.


Apa iya juga ya… ya sudah mari kita lanjutin menyimak perilaku orang-orang sepaham tadi! Kelihatannya ada benarnya juga tadi, nilai yang dimiliki kawan-kawan kita si mahasiswa-mahasiswa aneh tadi. Persoalannya walau memang sudah merasa sedikit senang dengan kebiasaan dosen yang bolos memberi kuliah, yang memang sudah menjadi hobby sebahagian dosen, mereka tidak melewatkan waktu begitu saja tanpa kegiatan berarti.


Wajah mereka mulai terlihat memudar warna tertawa dan cekikikan-cekikikannya. Berganti wajah dengan jidat yang mulai berkerut menandakan keseriusan pembicaraan akan berlangsung. Kali ini mereka sudah berada di beranda musholah sebelah kanan. Tempat yang sejuk karena terlindungi dari sinar matahari langsung oleh pohon kelapa sawit yang ada di sekitarnya.


Wabah ini dimulai si “A” yang entah mengapa kok bertanya seakan nyeletuk kepada kawan di sebelahnya yang tersebutlah namanya sebagai “P”. mereka sudah duduk di beranda dengan santai, ada yang meluruskan kaki ada juga yang melipat kaki kiri sementara kaki yang lain diizinkan dilipat vertical menyentuh dada. Seorang lagi yang bernama “S” sedang asik membongkar-bongkar isi tasnya, mungkin memeriksa sesuatu yang berharga baginya.


“Lebih awal mana ya, mempercayai al Quran atau Akal?”


Kedua temannya yang tadi masih belum begitu terfokus mulai memusatkan perhatian pada pertanyaan tadi walau pura-pura tak acuh.


Belum lagi mereka sempat berfikir si penanya melanjutkan ucapan sebagai penegas pertanyaan, mengapa dia harus bertanya seperti itu. “Kalau kita lebih mengutamakan Akal sebagai penentu, berarti al Quran lebih rendah kekdudukannya dari Akal.”


“Ya sudah al Quran dululah yang lebih pertama kedudukannya. Sudah kau jawab sendirikan.” S nyeletuk.


“Tunggu dululah wak genk aku belum siap ngomongnya. Tapi kalau kita meletakan Al Quran lebih tinggi, lantas pakai apa kita mempercayai kalau al Quran itu kalau benar-benar kitab yang suci yang harus kita yakini. Apakah bukan pakai Akal? Berarti Akal didahulukan!”


Waduh…apa ini kok berat sekali diskusinya. Buat kepala nyut-nyutan dan menguras tenaga untuk berfikir.


Memang sudah menjadi kebiasaan bagi mereka sepertinya berdiskusi seperti ini. Berdiskusi apa saja yang bisa meluaskan pemahaman dan cara berfikir, hitung –hitung mungkin saja dapat mempertebal keimanan, atau malah menjadi semakin bingung dan gebleg. Mereka juga memiliki pemahaman kalau otak ini rusak karena dipakai, lebih baik daripada rusaknya berkarat karena tidak dipakai.


Tetapi apa mesti diskusinya seberat ini dan sok-sokan membahas mana lebih tinggi kedudukan al Quran atau Akal? Walah-walah… ampun.


Tetapi pertanyaan “si A” memang mengusik dan menggerakan kepala-kepala mereka untuk berfikir dan mencari jawabannya. Jelaslah sudah semakin berkerut jidat mereka bertiga memikirkan itu. Sesuatu hal yang memang begitu penting dalam kehidupan apalagi sebagai makluk yang mampu berfikir dengan menggunakan akal. Sampai-sampai mereka sering terlupa dan terlambat makan hanya sering berdiskusi berat dan harus menemukan jawabannya. Tapi kalau urusan terlambat makan atau lupa makan alasannya adalah masalah klasik, masalah negeri kaya yang rakyatnya tidak ketularan kaya. Hehehehe…


Tidaklah al Quran datang dan turun begitu saja kepada manusia dan manusia tanpa tending aling-aling menerima tanpa syarat dan tanpa melakukan apa-apa. Bukankah kalau bersikap seperti tersebut semua terjadi secara doktrinitas masuk kebawa ketidaksadaran manusia. Lantas dengan apa dan cara bagaimanakah membuktikan dan menunjukan bahwa al Quran sesuatu yang tanpa ketidaksempurnaan??


Hampir dua jam juga mereka di beranda musholah dan belum juga terselesaikan diskusinya. Malah semakin bingung sepertinya. Siapasih yang punya inisiatif membuat pertanyaan seperti itu yang muncul di kepala “si A” , kurang kerjaan saja dia.


Adakah bahwa akal yang membuktikan kesucian al Quran? Ataukah al Quran yang lebih dahulu dan lebih tinggi kedudukannya. Kok jadi seperti pertanyaan ayam dan telur atau telur dan ayam begini. Padahal al Quran tidak mirip sama sekali dengan ayam, apalagi akal juga tidak mirip juga dengan telur, tetapi kok bisa mirip begini keadaannya??


Lain dengan argumen “si S”, bagaimanapun al Quran itu lebih tinggi dari Akal, maka al Quran tidak perlu lagi dibuktikan dengan cara dan dengan apapun. (Loh… klasik benar alasannya, malah cenderung doktrinis argumennya). Satu lagi, “S” melanjutkan, dalam Rukun Iman yang ada itu Iman kepada kitab suci (al Quran), tidak ada Iman kepada Akal.


Ada-ada saja mereka ini dengan jawabannya masing-masing. Malah membuat orang bingung.


Si A tidak terima dengan argumen “S”, dengan melontarkan argumennya yang cukup memberikan pukulan telak pada “S”. “Kalau begitu keadaannya artinya al Quran itu tidak masuk Akal. Tanpa harus dibuktikan dan dicermati diterima begitu saja! Aku tak setuju.”


Suasana semakin tegang, dan jam sudah menunjukan pukul 12.15 orang –orang semakin ramai menghampiri mushala. Sepertinya sebentar lagi ada gawean yang mau dilaksanakan. Biasalah gaweannya shalat Dzuhur.


Mereka bertiga masih terlibat dalam diskusi yang semakin mempertaruhkan keimanan dan kecerdasan mereka. Apakah mereka akan disebut sebagai muslim yang beriman namun menomor duakan akal atau malah akan disebut sebagai muslim yang membuat akal menjadi puncak penentuan beragamanya, sampai al Quran dinomorduakan setelah akal.


Sejak tadi “si P” hanya diam-diam saja walaupun tetap terlibat menyaksikan diskusi antara “si A dan si S”. Terkejut juga awalnya “P” saat diberondong kedua temannya untuk memberikan pendapat yang akan menyelesaikan perdebatan nan panjang dan rumit ini. Masalah Aqidah.


Sedikit merasa terhormat juga “si P” harus menjelaskan hal yang rumit dan diberi kepercayaan kedua temannya untuk memberikan jawaban. Namun dalam hati “P” was-was juga apakah jawabannya dapat menjadi sebuah solusi dan jalan keluar antara kedudukan yang lebih tinggi antara al Quran dan Akal.


Baiklah, “P” mulai menjawab dengan terlebih dahulu menarik nafas panjang dan memfokuskan fikirannya serta menantap wajah kedua temannya secara bergantian.


“Setahu yang pernah kubaca dan pelajari Allah menciptakan tiga hal untuk manusia sebagai senjata yang paling canggih dari yang pernah ada.”


Kedua temanya tadi menunggu dengan was-was dan penuh harap. Saat mendengar senjata tercanggih yang pernah ada, kedua orang yang mendengarnya bertanyak serempak seperti terkomando, “Apa itu senjata tercanggihnya?”


“P” masih terdiam besiap-siap melanjutkan ucapannya sebagai penentu, yang lain semakin penasaran saja. “ Allah menciptakan, Akal, Hati, Nafsu bagi manusia sebagai sesuatu yang berada didalam jiwa manusia secara internal atau on board. Kemudian Allah menciptakan Wahyu (al Quran) sebagai penuntun atau sistem.” P terdiam sambil menelan ludah karena mata kedua temannya begitu memburu dan mengejar dirinya.


“Baiklah, menurutku kalau harus dihadapkan seperti ayam dan telur untuk sesuatu yang kita perbandingkan tadi “Akal dan al Quran” bukanlah sesuatu yang harus diperbandingkan mana yang lebih hebat. Jadi kedudukannya tidak bersifat hirarkhis seperti DPR yang membuat undang-undang kemudian dinyatakan syah dan dapat dijalankan oleh pemerintah.”


Si A dan si S terdiam merenung mendengar penjelasan temannya. Dalam hati mereka berkontemplasi mencerna uraian tadi. Berarti Akal harus selalu dilatih dan dibersihkan agar dapat berperan sebagai Akal, sehinggah al Quran dapat dipahami dan dimaknai. Tidaklah nafsu yang meraja sehinggah dalam memahami al Quran terbawa pada suasana doktrinis dan emosional.


Adzan sudah berkumandang dan orang-orang semakin ramai menghampiri mushalah. Pada saat yang bersamaan ketiga makluk pendiskusi tadi bersiap-siap juga untuk meninggalkan musholah. Bukannya mereka bersiap-siap berwudhu untuk menunaikan sholat dzuhur, malah meninggalkan mushola. Entahlah si anak tiga huruf tadi, mungkin mereka masih ingin merenung dengan hal yang didiskusikan kemudian untuk memantapkan dalam jiwanya.


Luaaarr Biaasa mereka… diskusi tentang Aqidah sangat serius dan berat, tiba datang waktu dzuhur… kok????? Kabur….




Sukmo Kelono
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Tinta Kertas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger