By. TASARO GK
Feature merupakan sebuah istilah Jurnalistik. Meskipun demikian, istilah ini cukup lekat dengan karya fiksi bahkan sangat dibutuhkan. Tanpanya, sebuah karya fiksi akan terasa hambar dan tidak enak dibaca.
Apa sih Feature itu?
Dalam bahasa jurnalistik, FEATURE adalah tulisan hasil reportase (peliputan) mengenai suatu objek atau peristiwa yang bersifat memberikan informasi, mendidik, menghibur, meyakinkan serta menggugah simpati atau empati pembaca (LeSPI, 1999-2000).
Saat ini, feature merupakan senjata pamungkas segala jenis media massa untuk merangkul pembaca, terutama ketika pergerakan dunia pemberitaan sudah sangat gencar. Siaran berita langsung (live report) yang dulunya menjadi raja tergeser oleh feature yang mengakomodasi kebutuhan media massa harian, majalah, tabloid, berita TV dll.
Dalam bahasa fiksi, feature bisa diartikan sebagai tulisan khas, dimana di dalamnya penulis memasukkan unsur-unsur human interest. Yaitu hal-hal yang bisa membuat pembaca tertawa, menangis, sedih, tersenyum, dan semua perasaan emosi yang menggugah empati pembaca.
Jadi, kerja sebuah novel itu menggugah emosi pembaca. Membuat pembaca tertawa, menangis, sedih, terharu, dll. Menarik emosi pembaca keluar dari dadanya. Berarti, feature dan fiksi itu mempunyai persamaan, yaitu sama-sama “bekerja” untuk menarik emosi pembaca. Bedanya, feature berbahan data faktual yang dieksekusi menjadi produk faktual segangkan novel (fiksi) dieksekusi menjadi produk fiktif.
Pertanyaannya, bagaimana mengeksekusi sebuah data menjadi produk yang naratif dalam novel? Untuk menjawab pertanyaan ini, diciptakanlah teori #5+1, yaitu metode penggambaran cerita berdasarkan potensi dasar manusia, yaitu panca indera.
Panca indera manusia antara lain PENDENGARAN, PENGLIHATAN, PENCIUMAN, PERABA, PERASA.
Sebelum membahas tentang panca indera, mari kita berkeliling dunia dulu 

Siapa yang ketika baca Ayat-ayat Cinta bisa merasakan panasnya Mesir, debu padang pasir di hidung dan suasana Al Azhar? Terasa, ya? Seolah olah kulit kita merasakan panasnya Mesir, telinga kita mendengar hiruk pikuk Al Azhar, hidung kita menghirup debu padang pasir.
Apa sebabnya? Karena Kang Abik berusaha melakukan penginderaan terhadap objek lalu menyampaikan penginderaannya kepada pembaca lewat kata-kata.
Sekarang, mari kita bahas satu persatu, bagaimana melakukan penginderaan lewat kata-kata.
Pertama, PENGLIHATAN
Sebagai latihan, coba perhatikan benda disekeliling kita. Buat daftarnya sebanyak-banyaknya. Misalnya gelas, buku, meja, kipas angin, tikar, sofa, kecoa, nyamuk, lukisan.
Ketika seorang pembaca membaca daftar benda-benda tersebut, apakah dia bisa mendapatkan gambaran tentang apa yang ingin diterangkan si penulis? Tidak bisa! Karena pembaca hanya tahu daftar nama benda, tapi tidak mendapatkan gambaran keadaan karena penulis tidak memberikan suasana pada si pembaca.
Pekerjaan penulis adalah mengindera daftar barang tadi lewat penglihatan dan memilih bahasa dan kata paling mendekati, agar pembaca seolah-olah memakai penglihatan mereka untuk melihat obyek yang sama. Disini berlaku fungsi SHOW, not TELL. Contoh: TELL –> KURSI; SHOW –> KURSI BERBENTUK SEGITIGA DENGAN TIGA KAKI SEPANJANG LENGAN ORANG DEWASA.
Kedua, PENDENGARAN
Teman-teman, kita sering kagum dengan kemampuan penulis yang menggambarkan “kebisingan” adegan, seolah-olah kita ada di dalamnya dan mendengarnya langsung. Sebenarnya sederhana saja, penulis hanya melakukan penginderaan lewat pendengarannya, penulis membuat seolah-olah dirinya berada dalam suasana tersebut. Contohnya adegan perang dalam GAJAH MADA karya Langit Krisna Hariyadi. Beliau berimajinasi dan membayangkan, suara apa yang dia dengar jika dia ada dalam perang tersebut, lalu digambarkannya lewat kata-kata.
Lakukan latihan seperti pada bagian penglihatan. Dengarkan obyek disekeliling kita, lalu tuliskan dan gambarkan. Contoh bunyi kendaraan diumpamakan seperti bunyi dengung lebah atau suara terompet seperti bayi menjerit.
Ketiga, PERABA
Semua yang punya kulit pasti bisa meraba. Alat indera ini sungguh anugerah yang luar biasa, karena dengan kulit kita bisa merasakan panas, dingin, sakit, dll. Pertanyaannya, bagaimana cara membuat pembaca bisa merasakan apa yang terasa oleh kulit kita?
Caranya adalah dengan membuat perumpamaan-perumpamaan yang membantu pembaca kita seolah-olah mereka merasa/meraba hal yang yang sama: panas yang sama, dingin yang sama, cubitan yang sama. Untuk menuliskannya, kita pilih perumpamaan-perumpamaan yang mendekatkan imajinasi pembaca dengan objek yang kita raba.
Lakukan latihan yang sama seperti pada indera sebelumnya. Contoh, menginjak jalan aspal di siang hari seperti berjalan di atas bara api atau pipinya kasar seperti kulit salak.
Keempat, PENCIUMAN
Langsung ke contoh saja, pupuk kompos cair baunya seperti lem sepatu atau baju yang lama gak dicuci baunya seperti daun busuk.
Kelima, PENGECAP
Contoh, rasa durian seperti mentega basi. Ayo, buat perumpamaan yang lain. Semakin banyak latihan panca indera kita akan semakin terasah.
Membuat analogi atau perumpamaan adalah salah satu kekuatan penulis. Sebagai tambahan suplemen, coba baca buku-buku terjemahan atau novel-novel penerima penghargaan. Disana selalu ada permainan analogi yang menarik, terobosan dan mengundang senyum serta haru.
Nah, itu tadi pembahasan dari tema 5+1, yaitu lima indera plus one. Apakah ‘one’ yang dimaksud?
Posting Komentar