Selamat datang di Tinta Kertas

DI SANA SURGA KITA

Minggu, 01 Januari 20120 komentar


DI SANA SURGA KITA

Tanpa figur bapak, tanpa figur ibu. Begitulah kujalani hidup bersama adikku. Adit namanya. Bocah kelas lima SD yang hobinya menonton kartun. Selain itu, tergila-tergila juga dengan cerita dongeng yang kerap kusuguhkan sebagai pengantar tidurnya.

Bapak kami, sudah meninggal. Meregang nyawa di atas kerasnya aspal beton jalan raya. Korban tabrak lari. Buah pahit dari kebebalan si pengguna jalan yang terobsesi oleh slogan ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’. Dasar bebal!

Sementara ibu kami, sejak pertengahan tahun 2010 merantau ke negeri orang nun jauh di sana. Arab Saudi tepatnya. Menyandang sebutan Tenaga Kerja Indonesia, bergelar sang pahlawan devisa.


Oh, Ibu… Sungguh luar biasa perjuangan dan pengorbananmu demi biaya sekolah kami.


Jauh di mata, rindu pun meraja.


Komunikasi jarak jauh, jembatan persuaan kami. Menembus jarak, menjengkali luas samudera. Dan dalam setiap kesempatannya, aku dan ibu saling tukar cerita. Tentang cinta, rindu, dan perjuangan hidup di dua tempat berbeda. Di sini aku, di sana dirinya.


“Jaga adikmu baik-baik ya!” Begitu amanah ibu. Yang tak pernah bosan beliau pesankan padaku. Selalu, selalu, dan selalu.


Dalam realitanya, kuasuh Adit dengan pola yang lumayan keras. Tidak boleh manja, tidak kenal cengeng, juga pantang mengeluarkan air mata. Apalagi untuk yang namanya minder terhadap anak-anak lain, yang masih lengkap orang tuannya. Untuk hal yang satu ini, aku tak kenal kompromi.


Terpaksa kulakukan cara demikian, dengan harapan, semoga bisa menempahnya menjadi seorang anak yang tidak selalu berkecil hati. Setidaknya, menurutku, dirinya harus bisa menjalani hidup seperti diriku. Yang mesti gagah menegakkan kepala ke depan, sekalipun tanpa figur orang tua.


Hasilnya, kurasakan hidup berjalan sesuai dengan apa yang kuinginkan. Mental baja yang bersemayam dalam diri kami, adalah kuncinya. Terjangan badai kehidupan tak gentar kami hadapi. Terpaaan keadaan yang memilukan tak cengeng kami jalani. Bersama Sang Waktu, kami mampu!


Namun, cerita menjadi berubah seketika di kala muncul berita horor di televisi yang menyesakkan hati. Seorang TKW bernama Ruyati dihukum pancung di Arab Saudi. Berita ini laksana gelegar halilintar di siang hari. Mengejutkan tanpa permisi.


Batin kami terguncang!


Oh, Ibu! Bagaimana nasibmu?


Entah kebetulan atau tidak, nomor handphone ibu tak lagi bisa kuhubungi. Gagal terus dan terus gagal. Berharap beliau yang menghubungiku, tapi tak jua terjadi.


Aku kalut!


Kudatangi rumah seorang agen penyalur TKI yang dahulu menawarkan pekerjaan kepada ibu. Tapi apa mau dikata, ia sudah pindah rumah. Dan para tetangga tidak tahu alamat barunya. Padahal aku sangat berharap bisa bertemu dengannya demi mendapatkan kabar tentang ibu.


Tidak cukup sampai di situ.
Selama berhari-hari pula aku bolak-balik ke warnet – warung internet. Tujuannya cuma satu: mencari informasi mengenai TKI di Arab Saudi. Dan semoga saja ada terselip nama ibu pada setiap infonya.


Akan tetapi, apa yang kudapati justru membuatku semakin merasa ngeri. Sungguh, betapa terkejutnya aku saat baru mengetahui bahwa ada ratusan TKI yang bermasalah di sana. Terjerat kasus ini dan kasus itu. Bahkan, beberapa diantaranya terancam hukuman mati. Bakal dipancung seperti Ruyati. Sementara nama ibu yang terus kucari, secuilpun tak ada kutemui.


Aku sangat khawatir! Aku sangat takut!


Nihil di dunia maya, kembali kualihkan perhatianku ke depan layar kaca. Mumpung lagi panas-panasnya pemberitaan terkait nasib TKI di luar negeri. Khusunya yang berada di Arab Saudi.


Kali ini aku tak sendiri. Ada Adit di sampingku.


Dari remote control, kupilih siaran yang kumau. Kebetulan sekali. Ada liputan mengenai duka TKI yang terpaksa bernaung di bawah kolong jembatan Arab Saudi. Disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta yang program-program acaranya terbebas dari sinetron maupun tontonan yang meninabobokkan bangsa.


Aku beringsut mendekati televisi. Tapi tidak dengan Adit. Ia memilih tetap duduk bersila di belakangku, seperti tanaman layu. Lesu dan sendu.


Jarakku dengan televisi sangat dekat sekali. Terpisah cuma beberapa inchi. Saking dekatnya, mukaku nyaris menempel di layarnya.


Mataku tak berkedip!


Satu per satu, kuperhatikan wajah-wajah Indonesia di situ. Dengan seksama, dengan cermat, dengan teliti.


Oh, sedih sekali! Benarkah apa yang kusaksikan ini? Atau, mungkinkah ini hanya sebatas mimpi buruk yang melintas sekejap? Tapi, di mana Ibu kami? Di mana?


Aku nyaris putus asa. Selain pada Tuhan, aku tak tahu harus mengadu kepada siapa lagi. Sementara, pemerintah negeri ini saja kecolongan. Lalai terhadap nasib pahlawan devisanya. Sungguh ironis.


Di depan layar kaca, aku dan Adit pasrah dibebat rasa tak berdaya.
“Bang, dipancung itu sama dengan dipenggal kepalanya sampai putus ya, Bang?” tanya Adit polos. Aku yakin, pertanyaan ini sudah dipendamnya berhari-hari.


“Iya.” Aku jawab secukupnya.
“Berarti orangnya mati-lah ya, Bang?”
“Ya iya-lah, Dit.”
“Terus kenapa Ibu Ruyati itu dipancung, Bang?”


Aku membisu, tak tahu harus menjawab apa!


Aku takut kalau sampai jawabanku justru melenceng jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Perihal perkara dan hukumannya. Mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Terlebih lagi, aku tidak ingin mencederai pemikiran Adit yang masih polos. Yang bisa saja berdampak negatif  di kemudian hari.


Tapi masalahnya, tentu Adit tak mau ambil pusing dengan apa yang ada di benakku. Terlalu berlebihan rasanya jika kuharapkan ia bisa memahami. Waktu terus berjalan dan aku tak bisa membiarkannya terus menunggu. Karena setiap pertanyaan, butuh jawaban.


“E..e…e…” aku masih menimbang. Lalu memutuskan: “Hukuman di sana memang seperti itu, Dit.” jawabku sepatutnya.


Adit terdiam. Rasa tidak puas kutangkap dari sorot matanya. Sorot mata yang menyiratkan dahaga keingintahuan. Sorot mata yang disesaki berjuta tanda tanya.


Hening. Sunyi. Senyap.


Malam pun kian menanjak. Melarut dengan suasana yang tak terdefenisi.


“Ayo, saatnya kita tidur, Dit!”
“Tunggu sebentar, Bang.”


Adit berjalan menghampiri foto ibu. Foto hitam-putih berbingkai kayu dengan polesan cat warna abu-abu.


Ia genggam bingkainya. Ia usap kacanya. Ia kecup seraut wajah yang ada di dalamnya.


Ah, menyentuh sekali. Hatiku basah.


Lalu kami masuk ke dalam kamar. Di atas ranjang tua, posisi tubuh kami sama-sama menyamping dan saling berhadapan. Sebuah dongeng fabel kusuguhkan sedemikian rupa. Setelah usai, kuletakkan telapak tangan kananku di pipi kirinya.


“Bang,” ucapnya menggantung. Sorot matanya masih tetap sama. Penuh tanda tanya. Barangkali pun dongenganku tak lagi disimaknya dengan khusyuk dan seksama.


“Iya, Dit. Ada apa lagi?” selidikku. Berharap tidak ada lagi pertanyaan yang sulit untuk kujawab ataupun kujelaskan.


Dan anehnya, mendadak mata Adit berkaca-kaca saat menyambung ucapannya. “Di Arab Saudi sana, Ibu kita nggak ikutan dipancung kan, Bang?”


“Masya Allah…” bisik hatiku. Sesak dadaku. Luruh batinku.


Siapa sangka kalau justru pertanyaan pamungkas ini baru ia lontarkan di saat hendak tidur. Pertanyaan yang sebenarnya kupendam juga dengan dalam-dalam. Pertanyaan yang mungkin juga dipertanyakam oleh setiap anak Indonesia yang bernasib sama seperti kami.


Kuusap pipinya pelan-pelan.


“Dit…” sedikit jeda. “Lebih baik kita berdoa saja ya! Semoga Allah selalu melindungi dan menjaga Ibu kita di sana. Ya!” Kuakhiri dengan sekali anggukan beriring seutas senyuman. Senyuman yang di dalamnya mengandung sebuah kegetiran.


Adit balas mengangguk. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya matanya yang berbicara.


Tidak seperti biasa. Kuputar posisi tubuhku seratus delapan puluh derajat, memunggungi Adit. Kusembunyikan raut kesedihanku dari hadapannya.


Monolog hati: “Ya Allah, seandainya waktu bisa diputar kembali. Lebih baik aku tidak usah melanjutkan sekolahku sampai SMA ini, jika pada kenyataannya harus dibayar dengan perpisahan yang menyakitkan ini. Aku lebih rela bekerja demi biaya sekolah Adit dan membiarkan Ibu tetap berada di rumah seperti di waktu masa kecilku dulu.”
* * *


Dua bulan berlalu, kabar mengenai ibu tak jua singgah di handphone-ku. Lose contact.


Aku benar-benar pasrah!


Malam itu, dari dalam kamar, kudengar gema takbir kemenangan berkumandang indah. Sahut-menyahut dari satu mesjid ke mesjid lainnya. Tubuhku merinding, hatiku menangis.


Bahagia dan sedih bercampur aduk jadi satu. Bahagia karena Allah Yang Maha Kuasa mengizinkanku melewati bulan Ramadhan dengan segala kemudahan yang diberikan oleh-Nya. Sekaligus sedih karena aku tak bisa mencium jari-jemari seorang perempuan yang telah melahirkanku dengan segala pengorbanannya. Di malam yang fitri.


Aku tenggelam karam dalam lautan memoriku. Suasananya begitu tenang dan damai. Damai sekali!


Kulihat ibu tersenyum menatapku. Kubalas senyumnya seraya berjalan mendekatinya. Semakin dekat, semakin tak sabar kuingin segera memeluknya. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada seorang bocah berlari mendahuluiku. Menyongsong ibu. Seketika itu juga ia langsung digendong oleh ibu dan menolehkan wajahnya ke arahku.


“Astagfirullah…”


Aku tersentak! Kembali ke dunia nyata.


“Diiit…Adit..Adit..Diiit….” kupanggil ia berulang kali, tapi tak ada sahutan sama sekali.


Aku bergegas keluar dan berharap dirinya ada di Rumah Pohon Jambu. Tempat favoritnya.


Ah, Rumah Pohon Jambu. Panjangnya dua meter, lebarnya satu meter, dan tingginya satu setengah meter. Beratap daun nipah, berdinding susunan bilah bambu, dan berlantai petakan papan kayu.


Bangunan khas dalam cerita dongeng ini kubuat sewaktu Adit masih duduk di kelas tiga SD dahulu. Sebagai hadiah kenaikan kelas-nya. Dan ketika itu masih ada ibu di dekat kami.


Benar saja. Kulihat cahaya lampu minyak berpendar menari-nari di rimbun daun pohon jambu. Artinya, ada orang yang menyalakannya.


Kunaiki anak tangga satu per satu. Perlahan tapi pasti. Namun, betapa terkejutnya aku mendapati Adit dalam kondisi menangis tersedu-sedu.


“Kamu kenapa, Dit?” Aku rengkuh tubuhnya.


Ia tetap menangis. Sampai-sampai air matanya membasahi serat kain kemejaku dan terasa dingin di dadaku.


“Ada apa, Dit?”


Sambil terisak-isak, ia bicara.
“A…A…Adit…takut…masuk…neraka, Bang.” katanya terbata-bata.


“Astagfirullah… Abang juga takut masuk neraka, Dit. Bukan Adit aja yang takut.”


“Tapi Adit betul-betul takut, Bang.” timpalnya memelukku dan mencengkeram punggungku kuat-kuat.


“Iya, Dit, iya. Tapi coba sekarang kamu tenang dulu!” Aku usap kepalanya. Tangisnya pun mereda.


Dalam beberapa menit, kami sama-sama diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Suara jangkrik, suara petasan, suara knalpot kendaraan, dan suara gema takbir kemenangan menjadi backsound adegan ini.


Sementara di angkasa raya, bintang-gemintang terlihat bergelantungan menghiasi langit malam. Kerling cahayanya berkerlap-kerlip rupawan. Menyaksikan kami, menghibur kami. Indah sekali.


“Bang…” suara Adit memecah keheningan Rumah Pohon Jambu.


“Iya, Dit! Kenapa?”


“Kita bisa masuk surga nggak, Bang?”


“Kenapa Adit nanyanya gitu?” Aku balik bertanya. Merasa aneh.


“E..e..sebelum libur sekolah kemarin. Guru agama Adit bilang, kalau pas Hari Raya Idul Fitri itu, setiap anak wajib minta maaf pada orang tuanya, terutama pada ibunya masing-masing. Karna….”


“Karna apa, Dit?”


Satu hembusan nafas panjang sempat kudengar keluar dari mulut Adit.


“Karna surga itu berada di bawah telapak kaki ibu, Bang.”


“Oh, memang iya, Dit. Apa yang dibilang Guru Agama Adit itu memang betul. Makanya kita harus berbakti pada Ibu dan jangan suka melawannya.” tegasku.


Anehnya, raut wajah Adit kulihat tetap sendu. Nyaris seperti ekspresi si pengemis yang ingin selalu dikasihani pada setiap aksinya.


Tidak berapa lama, Adit merebahkan kepalanya di atas pahaku. Wajah dan tatapannya tegak lurus ke mataku. Kami saling tatap dalam bingkai kebisuan. Aku merasa heran. Benar-benar heran.


“Sebetulnya yang Adit pikirin itu apa? Kok tadi sampai nangis gitu. Terus ngomongin surga dan neraka lagi.” Aku coba menggali yang tersembunyi.


“Itu Bang,” Katanya mengambang. Seakan berat untuk mengungkapkannya.


“Itu apaan, Dit? Bilang aja ke Abang. Jangan takut!”


“E..e..e…kalau Ibu kita ikut dipancung juga di Arab Saudi. Jadi di mana surga kita, Bang?”


Pertanyaan Adit bak mantera sakti berdaya magis tingkat tinggi. Menyihirku bulat-bulat.


Kerongkonganku mengering. Lidahku kelu. Bibirku serasa diikat mati dengan tali tambang kapal. Kata-kata yang sebelumnya lancar kukeluarkan, tiba-tiba terbelenggu dalam rongga mulutku. Aku gagu.


Aku kian tak berdaya. Tubuhku seolah-olah menjadi kecil. Sekecil pemikiran Adit yang sangat polos. Yang mentah-mentah mengartikan kalau lokasi surga itu tepat berada di bawah telapak kaki ibu.


Jika aku ditinggal mati oleh Ibu, berarti tak ada surga bagiku.
Pantas saja Adit menangis. Sangat polos sekali.


Ah, sekuat-kuatnya hatiku menghadapi terjangan badai kehidupan dan terpaan keadaan yang memilukan, ternyata tidaklah cukup kuat sewaktu hanya mendengar suara hati seorang bocah dengan segala kepolosannya. Perisai baja hatiku tercampak entah kemana.


Kutengadahkan wajahku ke atas. Menatap langit-langit atap daun nipah.


Jangan cengeng! Jangan nangis! Jangan cengeng! Jangan nangis!” desak dari dalam diriku.


Kucoba menahannya, namun justru semakin deras adanya. Tanpa bisa kubendung, genangan air bening di pelupuk mataku luruh berderai. Mengaliri pipiku, membasahi bibirku, dan jatuh menetes melalui daguku. Begitu alamiah.


Teeesss!


“Abang nangis ya?”
“Nggak, Dit.” Aku tetap tengadah.
“Jadi ini air apa, Bang? Jatuh di pipi Adit.”


Aku menunduk.
Benar! Kulihat ada sebutir air bening di atas pipi kanannya. Seperti bulir embun pagi yang menempel di dedaunan.


“Haa, betul kan Abang nangis?! Itu aja matanya nampak merah.”


“Nggak, Dit!”


Ia bangkit dan duduk menghadapku. “Apa Adit ada salah, Bang?” katanya merasa bersalah.


“Nggak, Dit, nggak! Adit nggak ada salah apa-apa. Mata Abang cuma kelilipan saja kok. Ada yang jatuh tiba-tiba tadi dari atap daun nipah ini.” Masih saja aku mengelabuinya.


“Betul cuma kelilipan kan, Bang?” Ia ingin memastikan.


Aku mengangguk, lagi tersenyum. Tapi getir.


“Kau harus kuat! Kau harus kuat! bentak hatiku.


Kupilih diam sejenak dengan mata terpejam. Kupunguti serpihan demi serpihan perisai baja yang sempat berserak. Lalu kupadukan kembali, melingkupi hati.


Surga, oh, surga…


Selain dengan sukses membuatku menangis, kata ‘surga’ juga telah memantik imajinasi dalam kepalaku. Imajinasi itu kemudian menyala. Menari-nari liar. Selanjutnya mengeluarkan sepasang sayap lebar dan terbang menuju angkasa kebebasan.


“Tidak akan kubiarkan satu keadaan pun meruntuhkan mental Adikku!” pekik  hatiku.


Kuminta Adit duduk tepat di mulut pintu Rumah Pohon Jambu. Sementara aku berada di belakangnya.


“Lihat itu, Dit! Di sana surga kita!” seruku sambil menunjuk satu bintang yang paling terang. Inilah imajinasiku. Yang merubah wujud dalam sebentuk cerita absurd.


Spontan itu memang indah.


Di bintang itu, Bang?” tanya Adit memastikan seraya ikut menunjuk bintang yang kumaksud.


“Iya, Dit! Itu surga kita!”


“Surga kita, Bang!” Ia terperangah menolehku. Seolah tak percaya. Lalu kembali memfokuskan penglihatannya pada bintang itu dengan mulut menganga. Matanya tak berkedip sepicing pun. Begitu menikmati.


Kubiarkan ia melihat bintang itu dengan sepuas-puasnya. Seperti halnya kubiarkan imajinasiku mengalir semaunya. “Bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung itu sebenarnya bekas jejak telapak kaki seluruh Ibu-ibu yang ada di dunia ini, Dit. Dan salah satunya adalah jejak telapak kaki Ibu kita.”


“Hah! Jadi Ibu kita bisa terbang ya, Bang?” Kembali Adit menolehku. Ia terkesima.


“Bisa!”


“Pakai apa, Bang?”


“Pakai sepasang sayap. Warnanya putih dan indaaaaah sekali.” Kurentangkan kedua tanganku dan menggerakkannya naik-turun pelan-pelan.


Adit menggaruk-garuk kepala. “Kok Adit nggak pernah ngeliat sayap punya Ibu, Bang?”


“Karna sepasang sayap Ibu tumbuhnya cuma di waktu larut malam saja. Pas kamu sedang tertidur pulas. Makanya dari dulu sampai Ibu pergi ke Arab Saudi, kamu itu nggak pernah ngeliatnya.”


“Oooo…” ucapnya sambil manggut-manggut.


“Terus, kamu masih ingat nggak, dengan pesan Ibu yang bilang supaya kita punya cita-cita setinggi bintang di langit?”


“Masih, Bang, masih! Ibu juga bilang, kita harus berusaha keras untuk bisa menggapainya!” sahut Adit berapi-api dengan mata berbinar-binar. Mungkin ia sudah lupa dengan kesedihannya.


“Betul! Kita harus bisa menggapainya. Dan kamu tahu kenapa?”


Ia hanya menggeleng.


“Supaya suatu hari nanti, kita bisa ketemu lagi dengan Ibu di bintang itu. Di surga kita, Dit.” ujarku sumringah.


“Kalau begitu, Adit akan gapai cita-cita Adit, Bang. Biar bisa ketemu Ibuuuu.”


Semangat yang sempat redup itu, kulihat memancar lagi dari wajah Adit. Di busur Cupid bibirnya, kulihat pula segaris lengkungan yang indah nian. Ia tersenyum.


Kudekap tubuhnya dari belakang. Begitu erat, begitu lekat. Kami menyatu dengan tatapan yang sama, ke atas sana. Menghadap langit, menatap satu bintang yang paling terang. Surga kami.


Namun, jauh di dalam ceruk hatiku, tiada henti pula kudengar bisikan lirih yang terus berucap: “Ya Allah, aku tahu aku salah. Karenanya, aku mohon pada-Mu. Maafkan aku, ampuni aku…”


Dan di malam yang fitri itu, suara letupan petasan masih terus menggelegar. Beradu padu dengan simfoni jangkrik yang kian gemericik, temani kami. Sementara dari kejauhan, alunan takbir kemenangan tak henti berkumandang menggemakan keagungan Tuhan.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Bumi Medan, akhir Agustus 2011.



DK Putra
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Tinta Kertas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger