Namaku
Bukan Itu Tapi Kurelakan.
Matahari sore
selalu hadir setiap hari jika langit tidak mendung atau hujan. Semua orang tau
memang seperti itu cahayanya setelah matahari siang telah mengundurkan dirinya
dibalik-balik awan. Entah siapa yang memperkenalkan namanya “Matahari”. Benda
bundar yang tertangkap mata, dengan cahaya tajam, membuat mata pijar hanya
beberapa detik bagi sepasang mata yang berani menatapnya. Siapa yang memberi
namanya, tiada yang tau pasti.
Bukan hanya matahari, masih banyak lagi benda-benda
yang tertangkap kita dan memanggilnya dengan sebutan angin, pohon, gunung,
awan, hutan, air. Siapa yang lebih awal ada, lantas memberikan nama padanya.
Sebab yang lebih awal hanya yang lebih tepat memyematkan namanya. Seperti
jabang bayi lahir, lantas Ayah dan Ibu, Kakek dan Nenek atau Paman dan Bibi
memilihkan namanya. Mereka tidak membiarkan dirinya tidak sibuk untuk menemukan
nama yang indah bagi keturunannya.
Seperti Alexander Graham Bell yang mengizinkan orang berbicara dari jarak yang jauh, dan menamainya “Telepon”. Atau saat Colombus memberi nama “Indian” pada bumi putra yang Benuanya juga (Amerika) merupakan nama yang disematkan sesuai nama Amerigo Vesvuci. Sedangkan bukan mustahil mereka sudah punya nama sendiri. Namun lekatlah sudah nama “Indian” bagi mereka yang merupakan nama yang salah. Bukankah kita sama-sama tau nama itu merupakan persangkaan yang salah oleh Colombus yang mengirah telah sampai Hindia Semenanjung.
Tak tahu, apakah pantas memberikan nama-nama, padahal kita sendiri banyak tidak tahu akan diri sendiri.
Matahari sore jingga berona diwajahnya memantulkan bias keemasan setiap helai-helai molekul cahayanya. Awan putih mengimitasi bunglon menempel dibatang kayu dan merubah kulit lunaknya sesuai warna kulit batang kayu. Awan putih mengisi lukisan dirinya dengan tinta alam berwarna jingga keemasan. Warnanya tidak beraturan, laksana lukisan abstrak pelukis yang sedang jatuh cinta pada sebuah makna.
Matahari masih mendayuh tenang geraknya. Siraman kebijaksanaan yang melekat didirinya melambangkan pelekatnya lebih bijaksana dibanding dirinya. Tiang-tiang gawang dari bambu tersentuh sinar bijak. Tiang merasa terhormat, dirinya juga dilumuri kebijaksanan dengan setia menjadi hakim penentu tepatnya tendangan maupun heading yang melahirkan gol.
Teriakan, kaki yang berbentur bola, nyeri yang bersuara dari tumbukan kaki berebut bola mewakilkan semangat tanpa sepatu bola. Rumput yang menjemput pemain saat tersungkur kelapangan dan memberi warna hijau tersamar dipakaian masih bersujud hikmad.
Diriku hanya menatap, tiada bergerak yang berarti. Tetap kusandarkan tubuhku pada tembok beton pembatas keliling lapangan. Mataku kulemparkan pandangannya jauh, menembus pohon, gedung, angin, rerumput, tanah dan awan. Namun siapa yang tahu atau hanya beberapa yang paham, seperangkat susunan cerdas sedang bekerja. Menembus batas-batas visual tanpa harus melepaskan diri dari hubungan antara eksistensi serta esensi.
Posting Komentar