Selamat datang di Tinta Kertas

Kentut dan Kejujuran

Rabu, 21 Desember 20110 komentar


Kejujuran sama dengan Kentut (?) kalau masih bisa Kentut apa masih bisa Jujur (?)






Lagi-lagi diingatkan pada setiap kita masing-masing, membaca dan menulis memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki cara lain dalam kreatifitas atau bisa saja kita sebut dengan terapi kecerdasan. Dalam perbincangan yang sebelumnya sudah dibicarakan kalau membaca merupakan hal yang paling romantis dan kesan pertama yang Allah turunkan dan ajarkan kepada Kanjeng Rosul. Allah membimbing dan mendiktekan cinta-Nya kepada sang kekasih. Bisa disebutlah kalau membaca merupakan perintah wajib bagi insan yang merindukan kisah romantis dalam penelusuran  jejak-jejak sang kekasih.

Membaca merupakan proses aktif. Tidak sama dengan menonton, mendengar, apalagi bergosip sambil ngupil. Di saat membaca memerlukan konsentrasi yang menuntut seseorang mengerahkan kemampuan otak kiri dan otak kanan untuk aktif. Jadi, di saat membaca seseorang tidak pasif dengan hanya diam menunggu. Justru, memang terlihat orang yang membaca tampak diam di tempat saat melakukan aktifitasnya. Jelas saja mana ada orang yang dapat membaca dengan konsentrasi sambil mengendarai sepeda motor atau saat ngobrol dengan calon mertua.

Informasi maupun pengetahuan yang datang kepada pembaca akan disampaikan kepada jalinan memori dalam relung kotak memori untuk diolah menjadi sesuatu yang baru. Merekontruksi bangunan pikiran. Maka berkembang dan terus bertumbuhlah pikiran serta jiwa orang yang suka membaca.

Ada cerita tentang analisis sederhana dari seorang yang juga merindukan kisah romantis dalam penelusuran jejak sang kekasih. Orang ini mengatakan satu teori setiap nama yang memiliki huruf ganda kecenderunggannya terdapat keutamaan pada dirinya. Si orang ini memberi contoh, nama dari Gusti seruan seluruh alam “Allah” dan nama dari Kanjeng Nabi “Muhammad”. Maha terpuji dan tiada cela dalam nama dan pemilik nama-nama tadi. Semoga kita juga selamanya terhindar dari prasangka jelek untuk setiap kali menyebut kedua nama itu.

Mari kita lanjutkan cerita dan analisis sederhana dari seorang yang merindukan kisah romantis ini. Nama adalah doa, namun ada juga yang mengatakan apalah arti sebuah nama. Tak sepenuhnya juga kita harus terdikte tanpa melakukan proses kreatif pada akal dan hati kita pada pendapat ini. Ada yang namanya terdengar bagus tapi kelakuannya selalu buat kepala pusing mengingat dirinya apalagi bertemu orangnya, atau nama yg kurang enak didengar namun selalu menimbulkan kedamaian saat mengingatnya.

Misalnya, seorang kepala desa yang memiliki wibawa kepemimpinan di desanya memiliki nama “Kentut”. Maka, untuk pembukaan acara peresmian gedung koperasi di desa kita ini, marilah kita sambut Pak “Kentut” untuk membuka dan meresmikan gedung baru kita. Selain tepuk tangan, juga pasti hadirin yang datang atau yang baru sekali hadir di desa tersebut sebagai undangan akan menahan tawa serta imajinasi-imajinasi liar lainnya.


Apalah arti sebuah nama? (?) Yah... nama itu penting dan sakral.

Seorang teman saya yang pintar, cerdas dan rajin mengaji, juga selalu menjadi sahabat baik yang beringan tangan dari kecil diberi nama orangtuanya yang sampai saat ini masih dipakai dan tidak ingin menggantinya, ‘Timan’. Hanya itu. Efektif dan hemat sekali namanya. Namun teman saya ini tidak pernah membuat orang merasa tidak nyaman dan marah. Malah, banyak orang yang merepotkan dan menyusahkannya hanya dengan seutas senyuman dan menyematkan hati, dirinya melatih hati untuk semakin bersabar.

Saya juga punya seorang teman pemilik nama yang begitu indah sejak lahir diberikan oleh orangtuanya, ‘Arif Bijak’. Siapapun yang mendengar pertama kali namanya secara sadar ataupun tidak, memiliki gambaran awal tersebut nama yang baik dan indah. Wajahnya juga tampan dan pasti saja para wanita langsung senang menatapnya berlama-lama. Tapi sejak sekolah di tingkat menengah dia paling sering bolos, nyontek dan ngompasin (menyamun) siswa-siswa yang baru, adik kelas, atau terlihat cupu.
Pernah pada bulan ramadhan, saat berpuasa di siang hari malah si teman saya ini yang merubah jadwal berbuka menjadi jam 11 siang.

Suatu hari, saat masih di kampus, bersama teman-teman pernah terlibat diskusi kecil kecilan, tetapi sering diskusi kecil-kecilannya mengarah kepada debat kusir. Ada malah seorang teman juga menamainya “debat kuda”. Kalau debat kusir berarti kusirnya yang bingung menentukan arah kemana yang akan dijalani karena adanya dua orang kusir dalam satu kereta kuda. Justru, kalau “debat kuda” kusirnya hanya satu tapi kudanya dua. Di dalam perjalanan kedua kuda tersebut yang mengalami silang pendapat kemudian. Tentunya dapat dibayangkan bagaimana kelanjutan ceritanya. Kudanya saja sudah selisih pendapat, lalu bagaimana lagi untuk mengurainya.

Untungnya bagi yang segera memiliki kesahajaan dalam berfikir dan berdiskusi saat masih berlatih menjadi pribadi-pribadi yang mengabdi pada pengetahuan dan kebijaksanaan, segeralah menarik sebuah pelajaran, yang dilalui adalah sebahagian proses untuk mendewasakan diri.
Kemudian, dalam diskusi kecil-kecilan tadi, seorang teman nyeletuk, “yang membuat negara Indonesia ini hancur dan baik, kecenderungan namanya terdiri dari tiga huruf.”

Awalnya kami semua hanya tetap cengengesan sambil memperhatikan gadis-gadis kampus yang berseliweran dengan berbagai karakternya, sambil dalam hati menseleksi mana yang paling cocok menjadi ibu dari anak-anak kami nanti. Si teman yang melihat kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing mengulangi pernyataannya, “Coba mari kita ingat-ingat dan analisis, yang membangun dan meusak negeri ini kecenderungan namanya terdiri dari tiga huruf.”
Dalam cengengesan ini, di hati kami satu persatu mulai mengingat dan mengumpulkan nama-nama “tiga huruf” itu.

Dari beberapa menit terkumpulah nama-nama itu dalam tempat yang kami sepakati, di diskusi kecil-kecilan.
DPR, MPR, KPK, BPK, TNI, SBY, PDI, PKI, HMI, PMI, OKP, IMM, IPK, MUI, PPP, BPK, KPU, CPM, GAM, OPM, DKI, BRR, PNI, PII, PGI, IDI, KPI, PWI, SMA, STM, SMP, SDN, SDS, RUU, UUD, BHP, SKP, SSI, MSI, MSP, MBA, SEI, KUD, OKI, PBB, PON, LSI, ISL, IPL, dan lain-lain. Mungkin kalau menyebutkannya terus seharian belum tentu selesai.

Dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan, mohon maaf yang tidak disebutkan. Bukannya tidak mengajak yang tidak disebutkan untuk tidak ikut dalam pembicaraan ini. Yang paling mengakibatkan tidak tersebut semua pada diskusi itu karena masing-masing kami akan memasuki kelas untuk kuliah atau mau cari pengganjal perut karena dari kemarin belum makan. Buat penghematan di akhir bulan.

Bagi kita, saya kembalikan kemampuan kreatif pembaca untuk membuatnya dalam dua kelompok. Kelompok pertama, pemilik tiga huruf yang membangun dan memperbaiki negeri ini. Kelompok yang kedua, pemilik tiga huruf yang merusak dan hanya mengambil keuntungan dari negeri ini. Kalau masih ada yang tidak tersebut nama-nama di atas bolehlah menambahkannya.

Bukan maksud saya  kalau ternyata, setelah kita menggunakan kejujuran untuk mengelompokannya menjadi dua, lantas di kelompok tertentu ternyata anggotanya lebih banyak. Bisa jadi di kelompok kedua. Tapi jujur yah mengelompokannya! Harus jujur loh! Kalau sudah dapat pengelompokannya segera kabarkan ke teman, saudara, pacar, istri, musuh, tukang gorengan, tukang becak, dosen, dekan, rektor, anak tiri, tukang nyabung ayam, pemain biola, pemain bola, siapapun itu. Kalau belum bisa membedakannya berarti ada masalah dalam diri anda. Masalahnya adalah ‘kejujuran’.

Kejujuran, menjadi barang yang mahal dan susah menemukannya padahal benda ini ada di dalam diri kita masing-masing begitu besarnya potensi itu bersemayam. Tetapi alangkah sayangnya kemudian benda ‘kejujuran’ wajahnya makin muram karena jarang sekali diajak bermain dan digandeng tangannya saat kita beraktifitas dan berjalan kemanapun. Kejujuran semakin lemah dan sakit akut, susah untuk disembuhkan dan diceriakan lagi wajahnya.

Hakikat kejujuran adalah, saya pernah dengar ini dari orang-orang suci, mengetahui mana yang kita butuhkan mana yang hanya sekedar keinginan atau nafsu belaka. Apapun harus diberi kecukupan pada kebutuhan diri tanpa membuatnya berlebih atau menjadi sesuatu yang mubazir, terbuang sia-sia.

Si Timan, teman saya tadi pada sebuah kesempatan ber-Ramadhan denganya selama sebulan selalu dengan iklas menunaikan kewajibannya walau dirinya bekerja menghandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan fisik yang pasti menguras banyak energi di siang hari membuat tubuhnya diperas habis-habisan untuk energinya. Upah yang dia dapatkan juga tidaklah besar dan berlebih, namun jika ada kesempatan, Timan tidak lupa membeli dan menyediakan santapan berbuka untuk orang-orang yang berada disekitarnya. Cukuplah aku berbuka dengan membasahi kerongkongan yang kering dan mengganjal perutku selama  seharian kosong, begitu katanya.


Dari seorang Timan yang memiliki latar belakang yang cukup tidak menggembirakan jika mendengar kisah hidupnya, seorang mantan pekerja anak yang terlantar di sebuah jaring maut, ditengah laut Selat Malaka. Namun dengan keikhasan dan kejujuran dia tetap berbagi.

Ada juga cerita, seorang teman dari abang kawanku yang memiliki rekanan denganku, dia memiliki nama yang baik di masyarakat umum juga posisi terhormat di orang-orang sekitarnya, lah kok setelah dilihat lamat-lamat dan jujur ternyata malah mencari kuntungan dari keadaan orang-orang disekitarnya yang memang untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Konon beliau itu dalam KTP-nya tertulis beragama juga. Yang disayangkan setelah lamat-lamat dan njlimet memperhatikannya, kok teganya beliau seperti itu.
Insya Allah kita terhindar dari prasangka buruk, berdoalah kepada Gusti Allah agar selalu terhindar. Perbanyak istighfar dan memuja kesucian Allah salah satu cara yang bisa digunakan.

Saya cuma hendak melihat pada dua cerita dua orang tadi, mengapa ada dua hal yang sangat bertentangan bagai minyak dan air. Setelah lamat-lamat saya berfikir, kejujuran untuk melihat dalam diri mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan. Keinginan yang hampir susah dibedakan dengan nafsu, syahwat duniawi.

Pada sebuah peristiwa, Kanjeng Nabi pernah ditawari dan memilih segunung emas dan emas juga diperut bumi yang ditenggeri gunung itu dibanding dengan harus menukarnya dengan tidak besyukur akan  keindahan cinta dari Rab-nya. Jelas saja dengan kejujuran dan kemurnian hati, beliau lebih memilih cinta dari Tuhan-nya. Dzat pemilik kesejatian cinta.


Tidak cukupkah Tuhan-mu memberikan nikmat kepadamu sampai engkau meminum air laut yang semakin diminum malah menjadikan haus yang belipat-lipat. Begitulah dunia dan keinginan menjadi air laut alam semesta.

Sebutlah nama Tuhan-mu dan masikah engkau mampu merindu pada pemilik nama yang tubuhnya lebih murni dari emas dan kemilaunya lebih gemerlap dari permata, “Muhammad”.

Sukmo Kelono


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Tinta Kertas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger