Kejujuran sama dengan Kentut (?) kalau masih bisa Kentut apa masih bisa
Jujur (?)
Lagi-lagi diingatkan pada setiap kita masing-masing, membaca dan menulis memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki cara lain dalam kreatifitas atau bisa saja kita sebut dengan terapi kecerdasan. Dalam perbincangan yang sebelumnya sudah dibicarakan kalau membaca merupakan hal yang paling romantis dan kesan pertama yang Allah turunkan dan ajarkan kepada Kanjeng Rosul. Allah membimbing dan mendiktekan cinta-Nya kepada sang kekasih. Bisa disebutlah kalau membaca merupakan perintah wajib bagi insan yang merindukan kisah romantis dalam penelusuran jejak-jejak sang kekasih.
Membaca merupakan proses aktif. Tidak sama
dengan menonton, mendengar, apalagi bergosip sambil ngupil. Di saat membaca
memerlukan konsentrasi yang menuntut seseorang mengerahkan kemampuan otak kiri
dan otak kanan untuk aktif. Jadi, di saat membaca seseorang tidak pasif dengan
hanya diam menunggu. Justru, memang terlihat orang yang membaca tampak diam di tempat
saat melakukan aktifitasnya. Jelas saja mana ada orang yang dapat membaca
dengan konsentrasi sambil mengendarai sepeda motor atau saat ngobrol dengan
calon mertua.
Informasi maupun pengetahuan yang
datang kepada pembaca akan disampaikan kepada jalinan memori dalam relung kotak
memori untuk diolah menjadi sesuatu yang baru. Merekontruksi bangunan pikiran. Maka
berkembang dan terus bertumbuhlah pikiran serta jiwa orang yang suka membaca.
Ada cerita tentang analisis
sederhana dari seorang yang juga merindukan kisah romantis dalam penelusuran
jejak sang kekasih. Orang ini mengatakan satu teori setiap nama yang memiliki
huruf ganda kecenderunggannya terdapat keutamaan pada dirinya. Si orang ini
memberi contoh, nama dari Gusti seruan seluruh alam “Allah” dan nama dari
Kanjeng Nabi “Muhammad”. Maha terpuji dan tiada cela dalam nama dan pemilik
nama-nama tadi. Semoga kita juga selamanya terhindar dari prasangka jelek untuk
setiap kali menyebut kedua nama itu.
Mari kita lanjutkan cerita dan
analisis sederhana dari seorang yang merindukan kisah romantis ini. Nama adalah
doa, namun ada juga yang mengatakan apalah arti sebuah nama. Tak sepenuhnya
juga kita harus terdikte tanpa melakukan proses kreatif pada akal dan hati kita
pada pendapat ini. Ada yang namanya terdengar bagus tapi kelakuannya selalu
buat kepala pusing mengingat dirinya apalagi bertemu orangnya, atau nama yg
kurang enak didengar namun selalu menimbulkan kedamaian saat mengingatnya.
Misalnya, seorang kepala desa
yang memiliki wibawa kepemimpinan di desanya memiliki nama “Kentut”. Maka,
untuk pembukaan acara peresmian gedung koperasi di desa kita ini, marilah kita
sambut Pak “Kentut” untuk membuka dan meresmikan gedung baru kita. Selain tepuk
tangan, juga pasti hadirin yang datang atau yang baru sekali hadir di desa
tersebut sebagai undangan akan menahan tawa serta imajinasi-imajinasi liar
lainnya.
Apalah arti sebuah nama? (?)
Yah... nama itu penting dan sakral.
Seorang teman saya yang pintar,
cerdas dan rajin mengaji, juga selalu menjadi sahabat baik yang beringan tangan
dari kecil diberi nama orangtuanya yang sampai saat ini masih dipakai dan tidak
ingin menggantinya, ‘Timan’. Hanya itu. Efektif dan hemat sekali namanya. Namun
teman saya ini tidak pernah membuat orang merasa tidak nyaman dan marah. Malah,
banyak orang yang merepotkan dan menyusahkannya hanya dengan seutas senyuman
dan menyematkan hati, dirinya melatih hati untuk semakin bersabar.
Saya juga punya seorang teman
pemilik nama yang begitu indah sejak lahir diberikan oleh orangtuanya, ‘Arif
Bijak’. Siapapun yang mendengar pertama kali namanya secara sadar ataupun
tidak, memiliki gambaran awal tersebut nama yang baik dan indah. Wajahnya juga
tampan dan pasti saja para wanita langsung senang menatapnya berlama-lama. Tapi
sejak sekolah di tingkat menengah dia paling sering bolos, nyontek dan ngompasin (menyamun) siswa-siswa yang
baru, adik kelas, atau terlihat cupu.
Pernah pada bulan ramadhan, saat
berpuasa di siang hari malah si teman saya ini yang merubah jadwal berbuka
menjadi jam 11 siang.
Suatu hari, saat masih di kampus,
bersama teman-teman pernah terlibat diskusi kecil kecilan, tetapi sering
diskusi kecil-kecilannya mengarah kepada debat kusir. Ada malah seorang teman
juga menamainya “debat kuda”. Kalau debat kusir berarti kusirnya yang bingung
menentukan arah kemana yang akan dijalani karena adanya dua orang kusir dalam
satu kereta kuda. Justru, kalau “debat kuda” kusirnya hanya satu tapi kudanya
dua. Di dalam perjalanan kedua kuda tersebut yang mengalami silang pendapat
kemudian. Tentunya dapat dibayangkan bagaimana kelanjutan ceritanya. Kudanya saja
sudah selisih pendapat, lalu bagaimana lagi untuk mengurainya.
Untungnya bagi yang segera
memiliki kesahajaan dalam berfikir dan berdiskusi saat masih berlatih menjadi
pribadi-pribadi yang mengabdi pada pengetahuan dan kebijaksanaan, segeralah
menarik sebuah pelajaran, yang dilalui adalah sebahagian proses untuk
mendewasakan diri.
Kemudian, dalam diskusi kecil-kecilan
tadi, seorang teman nyeletuk, “yang membuat negara Indonesia ini hancur dan
baik, kecenderungan namanya terdiri dari tiga huruf.”
Awalnya kami semua hanya tetap
cengengesan sambil memperhatikan gadis-gadis kampus yang berseliweran dengan
berbagai karakternya, sambil dalam hati menseleksi mana yang paling cocok
menjadi ibu dari anak-anak kami nanti. Si teman yang melihat kami masih sibuk
dengan kegiatan masing-masing mengulangi pernyataannya, “Coba mari kita
ingat-ingat dan analisis, yang membangun dan meusak negeri ini kecenderungan
namanya terdiri dari tiga huruf.”
Dalam cengengesan ini, di hati
kami satu persatu mulai mengingat dan mengumpulkan nama-nama “tiga huruf” itu.
Dari beberapa menit terkumpulah
nama-nama itu dalam tempat yang kami sepakati, di diskusi kecil-kecilan.
DPR, MPR, KPK, BPK, TNI, SBY,
PDI, PKI, HMI, PMI, OKP, IMM, IPK, MUI, PPP, BPK, KPU, CPM, GAM, OPM, DKI, BRR,
PNI, PII, PGI, IDI, KPI, PWI, SMA, STM, SMP, SDN, SDS, RUU, UUD, BHP, SKP, SSI,
MSI, MSP, MBA, SEI, KUD, OKI, PBB, PON, LSI, ISL, IPL, dan lain-lain. Mungkin kalau
menyebutkannya terus seharian belum tentu selesai.
Dan masih banyak lagi yang tidak
disebutkan, mohon maaf yang tidak disebutkan. Bukannya tidak mengajak yang
tidak disebutkan untuk tidak ikut dalam pembicaraan ini. Yang paling
mengakibatkan tidak tersebut semua pada diskusi itu karena masing-masing kami
akan memasuki kelas untuk kuliah atau mau cari pengganjal perut karena dari
kemarin belum makan. Buat penghematan di akhir bulan.
Bagi kita, saya kembalikan
kemampuan kreatif pembaca untuk membuatnya dalam dua kelompok. Kelompok pertama,
pemilik tiga huruf yang membangun dan memperbaiki negeri ini. Kelompok yang
kedua, pemilik tiga huruf yang merusak dan hanya mengambil keuntungan dari
negeri ini. Kalau masih ada yang tidak tersebut nama-nama di atas bolehlah
menambahkannya.
Bukan maksud saya kalau ternyata, setelah kita menggunakan
kejujuran untuk mengelompokannya menjadi dua, lantas di kelompok tertentu
ternyata anggotanya lebih banyak. Bisa jadi di kelompok kedua. Tapi jujur yah
mengelompokannya! Harus jujur loh! Kalau sudah dapat pengelompokannya segera
kabarkan ke teman, saudara, pacar, istri, musuh, tukang gorengan, tukang becak,
dosen, dekan, rektor, anak tiri, tukang nyabung ayam, pemain biola, pemain
bola, siapapun itu. Kalau belum bisa membedakannya berarti ada masalah dalam
diri anda. Masalahnya adalah ‘kejujuran’.
Kejujuran, menjadi barang yang
mahal dan susah menemukannya padahal benda ini ada di dalam diri kita
masing-masing begitu besarnya potensi itu bersemayam. Tetapi alangkah sayangnya
kemudian benda ‘kejujuran’ wajahnya makin muram karena jarang sekali diajak
bermain dan digandeng tangannya saat kita beraktifitas dan berjalan kemanapun. Kejujuran
semakin lemah dan sakit akut, susah untuk disembuhkan dan diceriakan lagi wajahnya.
Hakikat kejujuran adalah, saya
pernah dengar ini dari orang-orang suci, mengetahui mana yang kita butuhkan
mana yang hanya sekedar keinginan atau nafsu belaka. Apapun harus diberi
kecukupan pada kebutuhan diri tanpa membuatnya berlebih atau menjadi sesuatu
yang mubazir, terbuang sia-sia.
Si Timan, teman saya tadi pada
sebuah kesempatan ber-Ramadhan denganya selama sebulan selalu dengan iklas
menunaikan kewajibannya walau dirinya bekerja menghandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan
fisik yang pasti menguras banyak energi di siang hari membuat tubuhnya diperas
habis-habisan untuk energinya. Upah yang dia dapatkan juga tidaklah besar dan
berlebih, namun jika ada kesempatan, Timan tidak lupa membeli dan menyediakan
santapan berbuka untuk orang-orang yang berada disekitarnya. Cukuplah aku
berbuka dengan membasahi kerongkongan yang kering dan mengganjal perutku selama
seharian kosong, begitu katanya.
Dari seorang Timan yang memiliki
latar belakang yang cukup tidak menggembirakan jika mendengar kisah hidupnya,
seorang mantan pekerja anak yang terlantar di sebuah jaring maut, ditengah laut
Selat Malaka. Namun dengan keikhasan dan kejujuran dia tetap berbagi.
Ada juga cerita, seorang teman
dari abang kawanku yang memiliki rekanan denganku, dia memiliki nama yang baik
di masyarakat umum juga posisi terhormat di orang-orang sekitarnya, lah kok
setelah dilihat lamat-lamat dan jujur ternyata malah mencari kuntungan dari
keadaan orang-orang disekitarnya yang memang untuk makan sehari-hari saja sudah
susah. Konon beliau itu dalam KTP-nya tertulis beragama juga. Yang disayangkan
setelah lamat-lamat dan njlimet memperhatikannya, kok teganya beliau seperti
itu.
Insya Allah kita terhindar dari
prasangka buruk, berdoalah kepada Gusti Allah agar selalu terhindar. Perbanyak istighfar
dan memuja kesucian Allah salah satu cara yang bisa digunakan.
Saya cuma hendak melihat pada dua
cerita dua orang tadi, mengapa ada dua hal yang sangat bertentangan bagai
minyak dan air. Setelah lamat-lamat saya berfikir, kejujuran untuk melihat
dalam diri mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan. Keinginan
yang hampir susah dibedakan dengan nafsu, syahwat duniawi.
Pada sebuah peristiwa, Kanjeng
Nabi pernah ditawari dan memilih segunung emas dan emas juga diperut bumi yang
ditenggeri gunung itu dibanding dengan harus menukarnya dengan tidak besyukur
akan keindahan cinta dari Rab-nya. Jelas
saja dengan kejujuran dan kemurnian hati, beliau lebih memilih cinta dari
Tuhan-nya. Dzat pemilik kesejatian cinta.
Tidak cukupkah Tuhan-mu
memberikan nikmat kepadamu sampai engkau meminum air laut yang semakin diminum
malah menjadikan haus yang belipat-lipat. Begitulah dunia dan keinginan menjadi
air laut alam semesta.
Sebutlah nama Tuhan-mu dan masikah
engkau mampu merindu pada pemilik nama yang tubuhnya lebih murni dari emas dan
kemilaunya lebih gemerlap dari permata, “Muhammad”.
Sukmo Kelono
Posting Komentar