Jalan Cahaya
Maaf, bukan maksud hati untuk menjadikan pengalaman yang telah dilalui sebagai panduan untuk membawa cara berfikir, bahkan menggiring pandangan pembaca untuk setuju secara massif pada pembicaraan ini. Adapun sengaja saya tuliskan pengalaman yang diurai ini sekedar menjadi luapan kegelisahan hati yang semakin bimbang pada keadaan yang selalu menjadi pikiran saya. Malah ini—saya berharap—terciptanya satu wadah untuk mengkoreksi kemampuan berfikir saya.
Sejak awal, pada mula pertama memijakan kaki di kehidupan mahasiswa, saya cuma berharap kalau-kalau saya bisa belajar banyak hal yang tidak diketahui. Universitas yang saya masuki memaksa untuk meninggalkan kota kelahiran, yang berarti perantauan menjadi sesuatu yang harus dijalani. Sebuah keadaan yang sangat wajar terjadi pada setiap mahasiswa. Saat kemudian beralihlah status menjadi mahasiswa ada timbul keingginan untuk lebih serius mencari ilmu, yah itu saja yang menjadi bekal menyandang kemahasiswaan. Sebab saya juga sangat menyesalkan, belakangan, keadaan dimasa SMU baik pada perilaku, kebiasaan, keseriusan serta seluruh pergaulan. Banyak berisi hal yang buruk. Sering saya bertanya apakah perilaku tersebut hal yang wajar? Tak sedikit, bisa dikatakan pada umumnya, remaja seumuran saya yang sedang duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, banyak sedikit mengalami hal serupa.
Untuk sebuah pikiran saat ini menyaksikan kebiasaan pada masa SMU tersebut terlalu banyak kemubaziran waktu, energi, pikiran yang terlewat. Semua terlewatkan hanya sebagai kewajiban yang membosankan, melelahkan bahkan memaksa. Tidak berarti kita melewatkan keseriusan siswa-siswi yang bisa dikatakan, pemilik kursi-kursi papan atas penyabot piagam-piagam penghargaan atas prestasi-prestasi yang di ukir. Namun lagi-lagi saya melihat masih banyak yang mereka lupakan pada masa itu. Mungkin dengan kata lain banyak juga hal-hal dasar yang tiada dibawa bekal untuk melanjut ketahap berikutnya, menjadi mahasiswalah kalau dapat dikatakan.
Kalau dilihat lebih detail lagi (masih dalam cara pikir saya), ada tiga pembagian jurusan, IPS, IPA dan Bahasa. Namun di SMU saya hanya ada IPA dan IPS. Kecendrungan yang terbangun adalah, siswa-siswi IPS adalah orang-orang yang tidak menyukai Matematika, Kimia, Fisika, Biologi dan sederetan bidang studi bagi jurusan IPA. Agak mendiskreditkan memang kalau dikatakan Siswa IPS adalah mereka yang memiliki status subordinate. Tentu saja ordinatnya adalah siswa IPA. Lagi-lagi disini saya bukan hendak mempertentangkan antara Ilmu Sosial dengan Ilmu Pasti, namun sebuah proses yang pernah saya alami sendiri menunjukan bahwa alasan nilai yang tidak mencukupi pada bidang studi tertentu (IPA) mengkondisikan siswa untuk menjalani jurusan lain (IPS). Hal inilah yang menjadi memori saya ketika ini diperlihatkan diproses perkembangan cara berfikir saya oleh sistem sekolah ditempat menyelesaikan SMU.
Demikianlah sederetan, yang mungkin hanya secuil tentang pengalaman dimasa tersebut, hanya sebagai ingatan. Namun kisah tadi tidak lain adalah pengalaman pribadi. Untuk selanjutnya, kembalilah merenungkan proses yang saya himpun dimasa tersebut terasa sangatlah kosong. Bagi siswa harus menekuni jurusan masing-masing seideal mungkin. Siswa IPS semakin melupakan segala yang berbau IPA, demikian sebaliknya.
Atau, saya tidak begitu paham, apakah proses seperti ini hanya dilalui di sistem pendidikan di negeri ini saja. Lagi-lagi saya tidak puas, dengan apa yang saya dapatkan hanya lebih banyak keisengan dan bersenag-senang, tanpa bisa saya mengisi dengan sesuatu yang berarti. Kalaupun ada semua hanya sedikit yang menghantarkan pada keingintahuan.
Memasuki masa berikutnya, dengan menyandang gelar sebagai mahasiswa, saya belum paham apakah ini pengaruh usia yang bertambah atau proses lingkungan yang mempengaruhi cara berfikir dan membetuk paradigma dalam kepala membuat pandangan yang lebih serius dalam berfikir dan bersikap. Kalau diingat sedikit ke masa SMU, jangankan membaca buku untuk menammbah wawasan atau perbendaharaan pengetahuan, untuk melirik buku pelajaran dilakukan hanya menjadi keterpaksaan. Hal ini terjadi bagi semua siswa berdasarkan pengalaman saya.
Yah… benar-benar saya adalah orang yang bodoh saat menjadi mahasiswa pada awalnya, namun memiliki sebuah semangat untuk belajar menutupi segala kelemahan yang dimiliki. Rasa bodoh diri ini menjadi cemeti melajukan kaki-kaki saraf otak untuk membaca buku yang anggapan penting bagi perkembangan cara berfikir. Mulai wacana sosial, politik, religius, filsafat, sastra, seni, musik, ekonomi, humaniora, budaya, pendidikan, dan masih banyak lagi buku yang bercerita wacana-wacana kepada otak dan mengisinya. Bukan hal yang gampang bagi saya untuk membiasakannya. Apalagi semuanya bagai mengulang dari awal mengenal dan mempelajari wacana-wacana tersebut. Perlu saya ceritakan juga ketertarikan saya pada wacana serta ilmu tersebut tidak serta merta kemudian menjalar pada semua yang disebutkan secara bersamaan.
Tersebut tentulah saja menjadi kekurangan yang benar-benar nyata, sebab semunaya dilakukan secara otodidak dan tiada memiliki dasar yang kuat untuk mempelajari disiplin ilmu yang diseriusi. Dalam buku-buku yang terbaca, sempat ada keirian bagi cara berfikir pada adanya fikiran saya yang begitu menemui banyak sekali cacat. Tentu sajalah mereka memiliki bangunan pemikiran yang kuat dan rapi, dibandingkan dengan saya yang merasa kerdil jika dibandingkan mereka. Seperti Murthada Muthahari, misalnya sosok pemikir sekaliber yang banyak menelurkan buku dan menguasai banyak disiplin ilmu. Tidak lain adalah dimasa sejak usianya sangat dini telah terjaga ketelitian cara berfikinya, serta porsi pengetahuan yang dipelajari dan diajarkan kepadanya begitu mumpuni. Pohon dan akar pemikirannya begitu sehat. Atau coba kita kenal Tan Malaka, atau Pramudya Ananta Toer adalah sosok-sosok maestro yang banyak melahirkan buku dari rahim pemikirannya. Pemikiran merekapun banyak yang menghormati dan menjadikan inspirasi bagi cara berfikir. Kalau dibilang apakah ada keirian pada diri terhadap mereka, pastilah sesuatu yang jelas jawaban rasa iri pada mereka sangat besar. Tetapi lagi-lagi mereka inspirasi yang membuat jalan gelap ini menjadi terang. Mereka mempunyai banyak amunisi utuk bisa menyibak pengetahuan. Begitulah pandangan yang membangun cara berfikir terhadap mereka.
Masih terlalu banyak tokoh-tokoh yang harus disebutkan yang mampu menyibak tabir kebutaan pengetahuan. Bukankah Allah S.W.T menyediakan hati, akal, nafsu tiada lain untuk bekal menyibak tabir itu. Sepertinya kalau direnungkan seberapa jauh telah termanfaatkan ketiga karunia (hati, akal, nafsu)dari Allah tersebut telah diberdayakan? Sepertinya hanya penyesalan dan keinginan merajut kekuatan untuk menambal kegundahan hati akan kelemahan yang diperbuat penimbul penyesalan.
Posting Komentar