Selamat datang di Tinta Kertas

HMI FISIP SEBAGAI SUBKULTUR Februari 11, 2010

Sabtu, 17 Desember 20110 komentar


HMI FISIP SEBAGAI SUBKULTUR
Februari 11, 2010

Abstract
Student organization that became an important element in social change as a trendsetter is a conscious subject. In the cultural dominance of the super-culture that became public culture, where the current super-community culture based on modernization and understand the patterns of spread of neoliberalism in the nature of thinking into a culture that embraced the community as a dominant and massive. Student organizations should be able to create a cultural space that is capable of forming a critical paradigm for the growth of social groups can develop the condition answering to the social reality, not much different from the general public. Super-culture that has become the current culture to bring a natural fairness of the cultural group of counter culture subculture actors, or counter-hegemony by Gramsci. Sub-culture counter-hegemonic actors were born from the social culture that gave birth to public disappointment with not able to solve social problems. In the presentation of research reports with qualitative research methods, the role of the researcher as observer partisipant become advocates for a closer look and see things developing into a sub culture in the HMI of Social Faculty USU. A culture that will be the identity and character that support the development of communities is determined by how to understand and interpret the values of the HMI of Social Faculty USU which is used as social values. The changes that took place in the Social Faculty of HMI USU shows the growth values that became culture. Social Faculty of HMI USU present as sub-cultural community that serves as a sub-culture counter-hegemony for the dominant culture that shape the way of thinking tended to support unconsciously neoliberalism who also comes from understanding it appears that consumption of pop culture in the massive as well. While the condition of university students who experienced near-death HMI of Social Faculty USU tries to build awareness of its function again. Rise and dominances of massive cultures, HMI of Social Faculty USU did awareness of the bottom, from the individuals belonging to the family of HMI of Social Faculty USU as cadres.


PENDAHULUAN

Globalisasi merasuki segala dimensi, kultural, ekonomi, politik atau institusional. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrim, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural, atau dengan bahasa lain bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak variasi imperialisme kultural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan oleh kultur Amerika (Kuisel,1993. Ritzer,1995, 2000a) Barat (Giddens,1990) atau negara-negara pusat (Hannerz, 1990)

Dalam kaitannya dengan perubahan yang berlangsung dari sejarah bangsa, organisasi kemahasiswaan yang bukan tidak bentuk tindakan aktif mahasiswa Indonesia yang turut berperan. Himpunan Mahasiswa Islam yang berdiri pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta, yang kemunculannya juga merupakan akibat dari keadaan negara yang sedang membutuhkan aksi-aksi yang mendukung revolusi untuk berdaulat penuh baik secara wilayah maupun sosio-kultural secara independen.

Dari sejak awal terbentuknya, HMI telah memiliki sikap yang independen, tidak terikat atau menjadi “Underbouw” ormas apapun. Hal ini mengakibatkan HMI tidak diterima begitu saja dengan tangan terbuka oleh organisasi pergerakan Islam yang dominan pada waktu itu. Sikap ini tumbuh karena HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki “Trilogi jatidiri”, kalau kita boleh meminjam istilah Johan Efendi, yakni organisasi mahasiswa, organisasi kader dan organisasi perjuangan, yang akan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi bangsa. Sumbangan tersebut adalah mencerdaskan generasi-generasi yang akan kemudian akan bertanggung jawab atas keberlangsungan Republik ini.

Sikap independen ini terbentuk seiring dengan keharusan bagi anak-anak muda yang gelisah dengan perubahan yang terjadi, dan berusaha untuk mencari yang terbaik dari pembangunan kemerdekaan dan harga diri bangsa. Dengannya pun corak keberagaman pemikiran banyak terdapat dioraganisasi kemahasiswaan ini.

Trilogi jatidiri organisasi yakni organisasi mahasiswa mengharuskan para anggotanya untuk berperan aktif sebagai cendikiawan-cendikiawan yang bergelut dengan diskursus-dirkursus pengetahuan yang terus mengalami kemajuan dan temuan-temuan baru. Inilah yang menjadi semangat bagi kader-kader organisasi.

Maka di era globalisasi ini yang diusung oleh neoliberalisme yang mengusung paham-paham kapitalistik yang terus merasuki segala dimensi dalam hidup. organisasi ini tidak pernah berhenti melakukan kajian-kajian yang diprakarsai oleh individu-individu organisasi ini. Berbagai bentuk interpretasi dan cara pandang yang dimiliki organisasi ini (HMI) masih tetap berlangsung dan menemukan bentuk-bentuk barunya.

Keberagaman cara menginterpretasikan ini memungkinkan hadirnya komunitas baru yang memiliki cara yang berbeda dalam memaknai kelompoknya. Komunitas tersebut adalah “Komisariat” yang memiliki kebebasan sikap dan cara bertindak. Komisariat adalah sebuah srtuktur kepengurusan dibawah Dewan Kepengurusan Cabang yang telah disyahkan setelah memenuhi syarat tertentu.

Suatu kelompok subkultur terbentuk ketika kebudayaan yang lebih besar tidak dapat memenuhi kebutuhan suatu kelompok dalam masyarakat. Mereka menawarkan pola dan nilai hidup yang berbeda, tetapi tetap memiliki hubungan dengan budaya yang lebih luas. Subkultur berusaha memenuhi kebutuhan akan status, penerimaan dan identitas yang tidak dapat dipenuhi oleh kebudayaan yang lebih luas.Inilah kemudian yang terjadi lebih detailnya dalam struktur dan kultur kehidupan kemahasiswaan ditanah air untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh nilai-nilai yang mengancam sosio-kultural kelompok.

Masyarakat yang terdiri dari sejumlah kebudayaan, yang mempunyai kecenderungan yang sama sebagai kelompok dan kelas dengan relasi kekuasaan yang berbeda yang didalamnya terdapat perjuangan bersama dan antara satu dengan lainnya. Kebudayaan yang kekuassaan paling besar atas lainnya yang menjadi dominan. Karenanya kebudayaan suatu bangsa, wilayah atau kota, bukanlah rangkuman semua kebudayaan dijadikan satu dalam bangsa, atau kota tersebut, melainkan budaya yang dominan pada waktu dan tempat tersebut. “Budaya dominan menampilkan dirinya sebagai sang kebudayaan. Ia berusaha memaknai dan memuat semua budaya yang lain dalam ranahnya yang inklusif. Pandangan dunianya, kecuali bila ditentang, akan berdiri sebagai budaya universal yang paling alami, yang mencakup semuanya.” (Clarke et al, 1976:12,).

Organisasi kemahasiswaan seperti HMI Komisariat FISIP USU memiliki kebudayaan yang tidak diperoleh dari budaya yang lebih luas. Subkultur di Oraganisasi Kemahasiswaan cenderung untuk mengkritisi kebijakan negara yang banyak dipengaruhi sistem global. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, organisasi Kemahasiswaan cenderung menjadi pengawas kebijakan-kebijakan pemerintah.

Kemunculan berbagai subkultur pada abad 20 menunjukan relasi yang kuat dengan peperangan dan adanya pengungsian atau status imigran. Abad 20 yang diwarnai peperangan besar, revolusi dan kompetisi senjata nuklir merebut kebebasan individu serta mengakibatkan trauma dan tekanan psikologis yang begitu besar bagi banyak orang. Salah satu dampaknya adalah munculnya orang-orang yang ingin hidup sepenuh-penuhnya—sebelum terenggut, dan mengekpresikan individualitas.

Di Amerika Serikat perombakan kontruksi kebudayaan diperankan oleh gerakan subkultur yang dilakukan bersama oleh gerakan emansipasi kulit hitam, gerakan feminisme, gerakan mahasiswa dan lain-lain. Dimulai sejak Perang Dunia II, dimana sejumlah pemuda merasa terlalu muda untuk berperang, memutuskan untuk keluar negeri untuk menghindari wajib militer. Ketika perang berakhir pada tahun 1950-an, generasi tersebut muncul, menamakan dirinya Beat Generation, melancarkan kritik terhadap masyarakat, menentang nilai-nilai konservatif sosial, yang kemudian aksi mereka disebut ‘Perang Budaya’ dalam sejarah Amerika Serikat. Hingga pada tahun 1960-an gerakan budaya tanding semakin meluas. Kebijakan luar negeri Pemerintah Amerika Serikat waktu itu melakukan intervensi politik di Vietnam untuk menghalau kekuatan komunisme di Asia Tenggara menjadi momentum penting yang meningkatkan eskalasi politik, sosial dan budaya dalam negeri Amerika Serikat. Gerakan budaya yang mulanya hanya diusung segelintir individu, bertransformasi menjadi berbagai subkultur seperti mods, rokers dan hippies. Masa itu terhitung pertengahan tahun 60-an hingga pertengahan tahun 70-an merupakan masa keemasan gerakan sosial budaya Amerika Serikat.

Saat ini di Indonesia, subkultur yang hadir tidak dapat dipisahkan kemunculannya dengan fenomena globalisasi yang mengandung banyak muatan. Neoliberalisme sebagai gerakan yang diimpor ke Indonesia yang jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan serta kemanusiaan sangatlah wajar menemukan perlawanan dari masyarakat Indonesia, khususnya Pemuda yakni Mahasiswa.
Organisasi Kemahasiswaan yang telah ada dan berdiri sejak lama menjadi modal untuk menumbuhkan gerakan-gerakan subkultur ditengah kondisi yang mendukung lahirnya gerakan ini. Era globalisasi yang menyediakan ruang informasi dan komunikasi ternyata menjadi ruang yang memberi kesempatan untuk menumbuhkan sikap sosio-kultural yang baru.

Maka generasi muda (mahasiswa) tidak tinggal diam terhadap situasi yang terjadi. Situasi yang menginfasi budaya, pendidikan, ekonomi yang merupakan aspek yang asasi untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, diambil alih menjadi aset-aset untuk dapat meraih keuntungan kapital segelintir orang.

Berdasarkan penjelasan latar belakang tersebut, menarik dilakuakan sebuah kajian terhadap generasi muda, khususnya mahasiswa, dalam ranah sosio-kultural yang terjadi dan berkembang dewasa ini. Seberapa jauh dan berapa besar wacana sosial yang ada memunculkan alternatif-alternatif baru serta cara interaksi dan tindakan yang belum kita temui muncul. Perlu ditekankan hal yang menjadi kajian pada penelitian ini, yakni “Bagaimanakah peran organisasi kemahasiswaan sebagai komunitas subkultur dalam melakukan kounter hegemoni terhadap budaya dominan?”



HMI FISIP USU Sebagai Komunitas Subkultur

Didalam aktifitas sosial organisasi kemahasiswaan yang awalnya merupakan aktifitas organisasi yang menjalankan perangkat organisasi yang telah ditetapkan dalam konstitusi HMI, seiring perjalanan waktu maka lahir dan berkembanglah sebuah nilai sosial tertentu dikomunitas tersebut. Nilai sosial tersebut adalah nilai sosial yang terjadi dan hubungan sosial yang dipengaruhi oleh kultur yang ada di HMI FISIP USU.

Interaksi sosial keseharian yang berlangsung menciptakan karakteristik sendiri yang dapat dikatakan sebagai identitas kelompok. Adalah hal yang dimiliki berbeda jika dilihat dengan sesuatu anutan nilai-nilai tertentu oleh kelompok sosial lain. Lahimya sebuah budaya di HMI FISIP USU merupakan akibat dan interaksi sosial yang berlangsung secara simultan dan melewati beberapa generasi yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah nilai.

Kondisi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh paham kapitalisme yang kemudian sistem yang berwujud kapitalisme pula sangat mempengaruhi budaya sosial dalam masyarakat yang kemudian budaya kapitalisme tersebut dijadikan sebagai budaya dominan. Realitas yang tengah berlangsung ini melahirkan inferionitas budaya pop, adalah budaya yang memandang basis komoditas sebagai budaya yang tidak autentik, manipulatif yang tidak memuaskan. Argumennya, bahwa ‘budaya massa’ kapitalis yang terkomodifikasi tidak otentik karena tidak dihasilkan oleh masyarakat’, manipulatif karena tujuannya untuk menguasai dan mengarahkan kebiasaan masyarakat untuk bersikap konsumerisme dan hedonis.

Adorno dan Hokeimer dalam esai mereka yang berjudul ‘Budaya Industri— Pencerahan sebagai Pembohongan Massal’ atau The Culture Industry—Enlightement as Mass Deception (Adorno dan Hokeimer, 1979). Mereka mengatakan bahwa produk budaya adalah komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya yang harus demokratis, individualistis dan beragam, namun pada kenyataanya otoriter konformis dan sangat terstandarisasikan, sehingga kebudayaan membubuhkan makna yang sama atas berbagai hal. Disiplin ilmu, informasi, film, radio, televisi dan majalah menciptakan suatu sistem yang seragam secara keseluruhan untuk semua bagian’ (Adorno dan Hokheimer, 1979: 120). Sebuah budaya yang berkembang dan mempengaruhi cara bertindak masyarakat yang menjadi massif serta hanya mengikuti manipulasi budaya terjadi secara berkelajutan dan terus menerus. Kemudian melekat sebagai pola sosial dalam masyarakat.

Individu-individu dalam masyarakat yang selalu mengkonsumsi budaya kapitalisme yang dominan tersebut dalam sistem yang juga melakukan pengarahan cara berfikir semakin meluaskan dan menguatkan budaya massif yang dibawanya.

Dan nilai yang mendasari interaksi sosial HMI FISIP USU yang diarahkan secara kritis dan sadar menjadi sebuah analisis untuk mendobrak sebuah tatanan budaya yang mapan. Tersebut adalah nilai-nilai Islam yang diatur dalam Al Quran dan Hadist yang menjadi landasan Syariat. Dan sinilah seluruh aktifitas sosial yang ada di HMI FISIP USU, nilai Islam tersebut mengkontekstualkannya. Dengan makna bahwa realitas yang terjadi yang diinterpretasikan secara kritis berdasarkan ketajaman yang dimiliki.

Ketidaksetujuan dengan adanya perekayasaan dan manipulasi budaya yang mengakibatkan rapuhnya individu maupun budaya dalam tatanan sosial adalah yang mengakibatkan kekacauan sosial. Sangat berseberangan dengan Syariat Islam yang mengajarkan kedinamisan dan sikap yang mandiri dan mampu menentukan perubahan kearah yang orisinil. Dalam kehidupan sosiaI masyarakat maupun kehidupan sosial kampus, yang telah termanipulasi oleh budaya massa sangat bertentangan dengan kebebasan cara berfikir serta keadilan berpendapat maupun mengekspresikan diri untuk didengar dan menjadi sebuah dinamika yang membangun. Sebab keadilan yang berlangsung sangat mendukung pengembangan ilmu, dan kebebasan merupakan pendukung mengekalkan perubahan yang dinamis. Saat dunia kampus, yang dianggotai oleh mahasiswa-mahasiswa yang semestinya memiliki kemandirian cara berfikir untuk mengetahui dan menyikapi permasalahan sosial, dengan ilmu maupun perilaku yang mumpuni telah dipengaruhi dan ditulari budaya massif yang menghilangkan sikap kritis adalah sangat berseberangan dengan perubahan yang positif dalam diri individu maupun masyarakat.

Setiap kader memiliki cara berfikir yang telah didasari oleh nilai Islam tersebut yang tertanam dan interaksi dalam berorganisasi di HMI FISIP USU. Dan dan sinilah nilai sosial tersebut mulai terbentuk. Budaya dalam subkultur mengacu kepada ‘seluruh cara hidup’ atau ‘peta makna’ yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya. Kata ‘sub’ mengandung konotasi suatu kondisi khas dan berbeda dan masyarakat dominan atau mainstream (Barker, 2005: 337). Perubahan yang terjadi dalam masyarakat begitu besar dipengaruhi akan keadaan kultur yang mampu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak. Adanya kultur di HMI FISIP USU yang membawa cara berfikir dan bertindak kewujud ideal adalah sebuah kondisi yang membimbing perubahan kearah yang positif dan kreatif. Banyaknya elemen sosial yang membangun bubungan dengan institusi kampus demi keuntungan oportunis dan pragmatis tanpa mengkritisi realitas sosial yang tengah berlangsung adalah akibat kultur yang dianut oleh masyarakat kampus. Untuk akhirnya agar hubungan yang telah dibangun menjadikan sarana kedekatan dan jalan untuk bergabung dengan sistem yang berstatus quo. Jadi, istilah subkultur autentik tergantung kepada pasangan biner ini, yaitu ide tentang budaya dominan atau budaya mainstream yang diproduksi massal dan tidak autentik (Barker, 2005: 337).



Nilai-nilai Subkultur HMI FISIP USU

Adalah menurut Storey (1993) setelah standar budaya tinggi dilepaskan maka kemudian rujukan yang digunakan adalah berdasarkan budaya yang diproduksi—massal oleh Industri Budaya. Perspektif ini masih senada dengan karya Leavis dan Adorno yang memandang budaya pop sebagai sesuatu yang lebih rendah dari budaya tinnggi. Yang menjadi perbedaan antara keduanya sebagai budaya atau kultur adalah bagi budaya tinggi adalah budaya orisinil yang diciptakan dan dimiliki oleh masyarakatnya berdasarkan perkembangan yang melekat dalam masyarakat. Sedangkan untuk budaya pop datang secara sentralistik dan Industri Budaya yang kemudian ditanamkan kedalam kebidupan masyarakat melalui media-media.

Budaya pop pada gilirannya adalah suatu budaya yang diproduksi secara komersial dan tidak ada alasan untuk berfikir bahwa nampaknya dia akan berubah dimasa yang akan datang (Barker, 2000: 4). Maknanya adalah budaya pop diproduksi untuk meraih keuntungan materi tanpa melihat buruk jangka panjang dalam kehidupan sosial.
Dalam budaya yang luas pengaruhnya yakni budaya pop yang menjadi budaya dominan (mainstream culture) menjadi konsumsi masyarakat luas yang mempengaruhi perilaku dan beranjak menjadi sesuatu hal yang wajar bagi setiap anggota masyarakat. Adanya pambangunan pola berfikir dengan mengarahkan kesadaran melalui media adalah alternatif yang cerdas untuk menanamkan perilaku yang membuat masyarakat mendukung budaya pop tersebut.

Budaya pop yang telah menjadi budaya dominan bagi masyarakat dan identitas utama yang menandakan dimasyarakat luas. Dalam realitas yang demikian dimana budaya dominan tengah melakukan pelebaran sayap pengaruhnya keseluruh kelompok sosial yang berada dibawahnya. Budaya dominan terus berusaha menjadi lebih berpengaruh kesetiap kelompok-kelompok minoritas yang memiliki kultur sendiri yang orisinil tumbuh dan berkembang dan anggota kelompok.

Namun lagi-lagi kelemahan dimiliki oleh budaya dominan yang tidak mampu mengakomodir dan memberikan solusi kepada semua kelompok-kelompok sosial. Suatu kelompok subkultur terbentuk ketika kebudayaan yang lebih besar tidak dapat memenuhi kebutuhan suatu kelompok dalam masyarakat. Mereka menawarkan pola dan nilai hidup yang berbeda, tetapi tetap memiliki hubungan dengan budaya yang lebih luas. Subkultur berusaha memenuhi kebutuhan akan status, penerimaan dan identitas yang tidak dapat dipenuhi oleh kebudayaan yang lebih luas.

HMI FISIP USU sebagai sebuah komunitas sosial yang juga masih berada dibawah sebuah sistem sosial yang memiliki Dominant Culture yang mempengaruhi masyarakatnya secara luas. HMI FISIP USU sebagai salah satu komunitas yang memiliki kulturnya sendiri yang lahir dari anggota kelompok yang secara orisinil terbentuk. Menjadi syarat yang mutlak bahwa HMI FISIP USU harus memiliki solusi sendiri untuk masalah budaya yang menjadi altematif ditengah budaya dominan yang dinilai telah gagal memberikan jawaban.

Atribut yang mendefinisikan ‘subkultur’, pada gilirannya, terletak pada bagaimana akses diletakkan pada perbedaan antara kelompok sosial/budaya tertentu dengan kebudayaan/masyarakat yang lebih luas. Keberagaman identitas kesukuan maupun asal daerah yang masing-masing berbeda setiap mahasiswa yang menjadi kader HMI FISIP USU tidak probematik dan tiada pula pengarahan kebentuk yang homogen. Keberagaman tetap dutamakan. Titik berat diletakkan pada variasi dan kolektivitas yang lebih luas yang diposisikan secara sama, namun tidak problematik, sebagai sesuatu yang normal, rata-rata dan dominan, Subkultur, dengan kata lain, dipandang rendah dan atau menikmati satu kesadaran tentang ‘liyan’ atau kesadaran akan perbedaan (Thornton, 1997: 5).

Sebagaimana dikatakan Thornton, resonansi penting lain dan awalan ‘sub adalah lapis bawah atau bawah tanah. Subkultural telah dipandang sebagai ruang bagi budaya menyimpang untuk mengasosiasikan ulang posisi mereka atau untuk meraih tempat bagi dirinya sendiri. Sehingga, di kebanyakan teori subkultur pertanyaan tentang ‘perlawanan’ terhadap budaya dominan sernakin mengemuka. Perilaku anak muda yang mengganggu kepentingan umum atau HMI FISIP USU yang para kademya sering kuliah atau kekampus menggunakan celana koyak dengan rambut gondrong serta enggan menggunakan kemeja, dipahami bukan sebagai patologi individual atau sebagai akibat dari ‘pemuda’ yang tak terbedakan, namun sebagai solusi praktis kolektif terhadap masalah kelas yang muncul secara struktural. Dalam konteks ini, berbagai skenario diajukan terkait dengan karakter ‘penyimpangan’. Pertama, suatu penolakan dan inversi nilai-nilai kerja, kesuksesan dan uang pada kelas menengah yang ditetapkan oleh orang-orang usia muda dan kelas pekerja untuk mengatasi berbagai kecacatan dalam konteks tersebut (Cohen 1955). Kedua, penetapan dan penekanan pada nilai-nilai bawah tanah dan kelas pekerja. khususnya nilai-nilai waktu luang, hanyalah penyimpangan dan perspektif pengendali sosial kelas menengah (Matza dan Sykes, I 961; Miller, 1958). Ketiga, usaha orang-orang muda kelas pekerja untuk menetapkan nilai-nilai kesuksesan, kekayaan dan kekuasaan (Merton, 1938) dan atau nilai-nilai hiburan dan hedonisme (Cloward dan Ohlin, 1960) melalui jalur alternatif yang ada yang disepakati secara sosial terhalangi oleh struktur kelas.

Sebuah konsep budaya HMI FISIP USU yang menentang wujud budaya dominan dengan mengutamakan hubungan berdasarkan motif-motif ekonomi. Hubungan sosial yang terjadi adalah interaksi profesionalisme namun tidak berbentuk birokratis kaku yang bersifat formalistik. Nilai-nilai subkultur yang dimiliki kemudian menjadi wujud yang mewarnai kehidupan sosial organisasi. Hal ini terjadi pada interaksi keseharian yang tidak memandang hubungan yang kaku, tidak hanya hubungan sosial yang terjadi dikarenakan adanya profesionalitas struktural antar anggota organisasi, tetapi dalam hubungan social keseharian seperti pemenuhan kebutuhan hidup baik secara fisik dan psikologis merupakan hal yang terus diperhatikan.

Kemudian, nilai-nilai tersebut juga terkristalisasi dalam forum resmi dalam instansi organisasi baik dalam rapat maupun pelatihan-pelatihan dan lain sebagainnya, yang selalu tetap melkukan interaksi tidak hanya berdasarkan kepentingan motif-motif profesionalitas yang bersifat organis.

Subkultur dilihat sebagai solusi ajaib atau simbolis atas perstruktural kelas, Atau, sebagaimana belakangan dikemukakan Brake sebagaimana dikutip oleh Barker dalam buku Cultural Studies, subbkultur memunculkan suatu upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami secara kolektif yang muncul dan kontradiksi berbagai struktur sosial. membangun suatu bentuk identitas kolektif di mana identitas individu bisa diperoleh di luar identitas yang melekat pada kelas, pendidikan dan pekerjaan (Brake, 1985: ix).

Brake kemudian membicarakan lima fungsi yang bisa dimainkan subkultur bagi para anggotanya. Senada dengan pendapat Brake yang membicarakan lima fungsi yang dapat dimainkan oleh HMI FISIP USU sebagai komunitas subkultur bagi para anggotanya merupakan kesatuan syarat dapat terjadinya integrasi para anggotanya agar tetap menjadi sebuah komunitas yang dapat tetap memberikan solusi bagi para anggotanya. Lima fungsi ini bagi HMI FISIP USU diterjemahkan dalam aktifitas dan perilaku organisasi.

Pertama, bagi HMI FISIP menyediakan suatu solusi ajaib atas berbagai masalah sosio-ekonomi dan struktural belum dapat diwujudkan dalam wujud kongkritnya, hal mi lebih dititik beratkan kepada pembangunan cara berfikir bagi para kadernya untuk mampu mengatasi masalah ekonomi yang kreatif dan produktif yang tidak menjadi pendukung ekonomi kapitalistik yang menghilangkan rasa kemanusiaan dalam sistem dan interaksi ekonominya, yakni interaksi ekonomi yang dilakukan beroientasi pada kapital dan keuntungan bukan bagaimana membangun hubungan yang manusiawi dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan adanya bidang kekaryaan dalam struktur kepengurusan merupakan pelatihan kemampuan untuk memiliki keterampilan maupun tempat pengapresiasian diri bagi semangat berwirausaha. Dengan selanjutnya Biro-biro yang bernaung dibawah struktur HMI FISIP USU, merupakan hal yang menjadi instrument social yang memberikan bekal kepada para kader untuk memiliki keahlian profesinal. Jika hal ini mampu dipahami bagi para kader akan menjadi sebuah modal yang besar untuk pembangunan solusi bagi pemenuhan masalah sosio-ekonomi dan struktural yang semakin kapitalistik. Membangun pola hubungan sosio-ekonomi yang humanis yakni yang lebih mengutamakan interaksi sosial organis yang menekankan pada keutamaan hubungan yang humanistik positif dan bukan hubungan mekanis. Hubungan atau interaksi mekanis terjadi saat ada kepentingan atau keuntungan bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah hal yang menghilangkan nilai-nilai persaudaraan dan kekeluargaan.

Kedua, menawarkan suatu bentuk identitas kolektif yang berbeda dan sekolah dan kerja; sebuah keadaan yang semakin individualis dalam kehidupan kampus karena latar belakang rnahasiswa yang bertemu sebatas ingin menyelesaikan kuIiah dan mendapat gelar sarjana menyediakan interaksi yang terbatas disaat mahasiswa disibukan dengan masalah perkuliahan dan tuntutan hidup yang semakin kapitalistik. Apalagi dengan semakin dibatasinya masa pendidikan, 5 tahun untuk program diploma, dan 6 tahun untuk program Strata 1 mahasiswa akan semakin melupakan karena keterbatasan waktu untuk menguasai masalah lain yang juga vital dalam kehidupan sosial. Identitas para kader HMI FISIP USU sebagai anggota kelompok mahasiswa yang berorganisasi, yakni mereka mendapat identitas baru yang tidak dimiliki mahasiswa yang tidak berorganisasi. Para kader pun mendapat sesuatu pelajaran dan organisasi yang tidak didapatkan diruang kuliah.

Ketiga, memperoleh suatu ruang bagi pengalaman dan gambaran alternatif realitas sosial. Di Sekretariat HMI FISIP USU sebagai tempat berkedudukan struktural kepengurusan, Sekretariat pula berfungsi sebagai tempat beraktifitas para anggota atau kader-kader HMI FISIP USU. Sekretariat menjadi ruangan kelas untuk belajar tanpa batas waktu maupun hari. Diskusi-diskusi berbagai disiplin ilmu yang tidak membatasi seorang mahasiswa departemen tertentu untuk berdiskusi dan membahas disiplin ilmu yang bukan bidangnya. Atau jenjang perkaderan yang dialami setiap kader yang memiliki tahapan merupakan sebuah pengalaman yang bergerak maju, sampai akhirnya seorang kader menjadi pengurus yang berarti menerima dan melakukan sebuah tanggung jawab. Sehingga kader mampu melewati sebuah pengalaman yang mendongkrak kesadarannya dalam melihat realitas sosial yang semakin membuat individu menjadi determinis. Ruang ini menjadi sebuah pelajaran baru dalam realitas yang tidak ditemukan dalam sistem dan budaya sosial masyarakat yang lebih luas. Akhirnya akan menjadi perbendaharaan pemahaman bagi kader-kader bahwa ada realitas dengan budaya yang melawan budaya awam dengan budaya pop sebagai faktor pembentuk dasarnya.

Keempat, menyediakan berbagai aktivitas hiburan bermakna yang bertentangan dengan sekolah dan kerja. Temu Ramah HMI FISIP USU merupakan tempat ataupun sarana berinteraksi antar jurusan antar generasi antar wacana keilmuan adalah momen yang dilakukan setiap tahunnya bagi penerimaan mahasiswa baru, Temu Ramah merupakan instrumen membangun hubungan kultural dengan dan antar mahasiswa. Aktifitas Fun Camp—adalah aktifitas perkemahan yang dilakukan bersama-sama dalam satu Periodesasi Kepengurusan—istilah ini mulai ada dan dijadikan agenda tahunan sejak Kepengurusan Periodesasi 2003-2004. Makan berjamaah yang membentuk barisan 5-20 meter yang diletakan berjajar dilantai sekretariat, dan pada Periode Kepengurusan 2007-2008 fariasi terjadi pada makan berjamaah dengan mengunakan nampan berdiameter 1 meter yang membentuk lingkaran. Makna aktifitas Fun Camp atau makan berjamaah adalah perwujudan nilai yang menekankan pada kebersamaan dalam sebuah visi kekeluargaan untuk menghempang derasnya kebudayaan individualistik yang membuat keterasingan ditengah sistem yang semakin kapitalistik. Interaksi yang dilakukan mementingkan titik berat pada interaksi antar individu yang humanis.

Kelima, melengkapi solusi bagi dilema identitas eksistensial. Bagi setiap kader ataupun calon kader yang bergabung dengan HMI FISIP USU secara kultural maupun struktural menjadi anggota Keluarga Besar HMI FISIP USU. Identitas ini dimiliki selama seumur hidup, walau telah demisioner sebagai Pengurus HMI FISIP USU atau telah menjadi alumni kader HMI FISIP USU. Sebuah budaya yang dimiliki oleh HMI FISIP USU adalah hal yang mengisi identitas eksistensial tersebut.


HMI FISIP USU Dalam Struktur Sosial

Didalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang pasti tidak dapat lepas dan kebudayaan atau kultur yang menjadi anutan masyarakatnya. Menurut E.B Tylor (1971), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain kebudayaan mencakup semuanya yang didapati atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bangunan budaya yang menjadi super-kultur yang berikutnya menjadi kultur dalam masyarakat, yakni kultur yang telah terjadi dalam masyarakat saat ini, khususnya yang dibahas dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah terpengaruh budaya popular hasil dan rekayasa budaya oleh kepentingan-kepentingan yang melanggengkan paham-paham kapitalisme yang akan terus diglobalkan. Budaya tersebut telah menjadi kultur dalam masyarakat, Didalam sistem sosial yang demikian dengan adanya kultur yang kemudian dimiliki secara massal HMI FISIP USU hadir sebagai komunitas dengan budaya-budaya khusus yang dimiliki oleh organisasi tersebut.

Dapat kita saksikan bahwa budaya yang berkembang di HMI FISIP USU adalah budaya khusus yang menjadi subkultur sekaligus melakukan counter-culture. Counter kultur yang dilakukan komunitas subkultur HMI FISIP USU merupakan counter yang memiliki pemaknaan resistensi terhadap budaya dominan yang muncul belakangan ini. Perkembangan maupun perubahan yang dilalui HMI FISIP USU untuk memilih posisi sebagai subkultur yang melakukan counter-culture adalah tumbuhnya perilaku budaya masyarakat yang dipengaruhi paham-paham kapitalisme yang saat mi menjadi budaya masyarakat. Sehingga budaya dominan sebagai budaya induk tidak mampu lagi memberi jawaban terhadap permasalahan sosial Dan sesuatu yang dapat kita analisa disini adalah bahwa HMI FISIP USU bukanlah komunitas yang melakukan posisi yang negatif terhadap budaya dominan yang sedang dikonsusmsi oleh masyarakat, hal ini pula tidak dapat disimpulkan sebagai sebuah penyelewengan.

Tetapi hal yang menarik adalah didalam budaya dominan yang menjadi sebuah kewajaran adanya komunitas subkultur yang semestinya menjadi sebuah budaya yang hendaknya tetap dijaga orisinalitasnya. Ditengah budaya pop yang menciptakan perilaku konsumtif dan cenderung apatis serta individualis. Masih banyak lagi akibat-akibat yang ditimbuikan dan budaya yng muncut dan keadaan krisis societal ini.

Menjadi sebuah komunitas subkultur yang tetap memperhatikan sendi-sendi yang harus dimiliki budaya adalah syarat untuk tetap eksisnya masyarakat. Bukan hanya budaya sosial saja yang menjadi fokus di HMI FISIP USU, namun kesadaran berpolitik seperti yang di katakan oleh Gramsci, masyarakat sipil adalah konteks dimana seseorang menjadi sadar, dan dimana seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasi menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah, serta dimana aliansi dibentuk.


DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Kreasi Wacana.Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2003. Bebas Dan Neoliberalisine. insist. Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain ; Manivesto Intelektual Organik. Insist Press. Yogyakarta.
Fauzi, Nóer. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta. Insist Press.
Johnson, Paul, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Gramedia. Jakarta.
Ke1lner Douglas. 2003. Teori sosial Radikal. Syarikat. Yogyakarta.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Bentang Budaya. Yogjakarta.
Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Resist Book. Yogyakarta.
Miftahuddin. 2004. Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani. Desantara. Depok.
Moleong, Lexy J. 1988. Metode Penelitian Kualitatjf Usaha Nasional. Surabaya.
Poloma. M Margaret. Sosiologi Kontemporer. 1994. Rajawali Pers. Jakarta.
Ritzer, George—Goodman J. Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.
Sarup, Madan. 2003. Posstrukuralisme dan Posmodernisme; Sebuah PengantarKritis. Penerbit Jendela. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi, Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Strinati, Dominic. 2003, Popular Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Popular. Bentang. Bandung.
Suharto, Edi (2005b). Membangun masyarakat memberdayakan Rakyat; Kajian Stategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Reifika Aditama. Bandung.
Sulastomo. 2000. Hari-hari Yang Panjang 1963-1966. Penerbit Kompas. Jakarta.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta.
Tanja, Viktor. 1990. Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya Di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaru Di Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
http://homepage.ntlworld.com/andrew. fereday/macsOl.htm
http://www.googgle.com
http://www.yahoo.com
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Tinta Kertas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger